"Pesan empatik yang terkandung dalam doktrin dakwah, amar ma’ruf dan nahi
munkar, sebetulnya sah-sah saja jika disalurkan secara benar. Pada
hakekatnya dakwah memberikan kebebasan seluas-luasnya pada audien
(mad’u) untuk menerima atau menolak. Nabi diberingatkan “engkau hanyalah
seorang penyampai (al balagh)”. Dan karena hidayah adalah sepenuhnya
prerogatif Allah, maka berkeinginan menyelamatkan orang dengan merampas
kebebasan dan menindas orang lain adalah sebuah ironi yang perlu
dipertanyakan"
Ortodoksi Islam telah menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagai salah satu tema sentral dalam wacana teologis. Melalui penelusuran literatur-literatur Islam klasik, tema ini biasanya disuguhkan kepada kita dalam suatu bab khusus dalam lingkup kajian interaksi sosial (mu’amalah). Ihya ‘Ulum al Din, kitab rujukan standar kaum sunni karangan al Ghazali misalnya, memberi ruang tidak kurang dari 30 halaman khusus membahas masalah ini dipandang dari sudut individu, sosial, hingga negara. Sementara itu, Ibn Taimiah seorang teolog sunni terkenal bermazhab hambali, bahkan memuat masalah ini dalam satu risalah tersendiri yang kemudian ia beri judul sesuai dengan temanya, al amru bi al ma’ruf wa al nahy ‘an al munkar. Merasa masalah ini begitu penting, teolog-teolog muslim kontemporer menegaskan kembali doktrin ini dalam buku-buku mereka. Namun begitu, dengan sedikit simplifikasi, saya ingin mengatakan bahwa doktrin amar ma’ruf nahi munkar seperti dikonsep oleh teolog-teolog muslim klasik tersebut cenderung bermasalah dilihat dari sudut epistemologi jika kita bandingkan dengan konteks sosiologis-politis masyarakat modern. Masalah itu makin diperparah oleh penegasan kembali –untuk menghindar dari istilah membeok– teolog-teolog muslim kontemporer yang kurang cerdas mengartikulasikan doktrin amar ma’ruf nahi munkar ini dalam koteks kekinian dan kedisinian umat muslim khususnya, dan masyarakat global umumnya. Kontras saja, kesenjangan ini berlanjut kepada ketegangan dan benturan antara keyakinan dan kenyataan yang harus dihadapi umat beriman.
Jika mau jujur, membincangkan amar ma’ruf nahi munkar dalam bingkai kebebasan beragama menjadi sangat melelahkan. Bukan hanya karena dituntut untuk mendamaikan antara doktrin ini dan kebutuhan masyarakat modern, tapi juga karena sering terjadi ketegangan antara kecenderungan ekslusivisme di dalamnya dengan nas-nas agama sendiri yang terang-terang membela kebebasan beragama dan toleransi. Secara teoritikal, benar bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan (ta’arudl) antara amar ma’ruf nahi munkar dengan kebebasan beragama. Tapi secara faktual dan praktikal, umat muslim harus mengakui bahwa ada persoalan tarik menarik antara dua konsep yang nota bene sama-sama berasal dari ajaran pokok Islam ini. Umat muslim harus membuka mata bahwa kekerasan pernah terjadi dalam sejarah mereka di bawah nama amar ma’ruf nahi munkar. Doktrin yang kemudian dijadikan salah satu dari lima ajaran dasar kelompok muktazilah ini, tercatat sejarah pernah dilegitimasi sebagai rujukan untuk mengeksekusi orang-orang yang berbeda paham dengan penguasa. Kelompok ekstrim khawarij bahkan menjadikan kekerasan sebagai wasilah untuk menyelamatkan orang melalui amar ma’ruf nahi munkar, sungguh ironi.
Berbeda dengan kedua kelompok di atas, Ibn Taimiah mewakili mazhab sunni, memang menolak amar ma’ruf nahi munkar sebagai legitimasi tindakan makar terhadap negara. Tapi dari sudut pandang kebebasan beragama dan toleransi, kelompok yang tersebut terakhir ini juga tidak memiliki pandangan amar ma’ruf nahi munkar yang lebih baik dari yang pertama. Mereka membuat konsep wilâyat al hisbah, yaitu jabatan eksekutor amar ma’ruf nahi munkar yang diangkat negara untuk mengawasi moral warga masyarakat atau sering disebut sebagai polisi moral. Negara memberi wewenang kepada polisi moral untuk mengincim-incim setiap tindak-tanduk warga negara dan menghukum mereka yang dianggap menyalahi syariat. Menurut mereka, manusia tidak cukup diawasi oleh malaikat raqib-atid saja, tapi perlu ada aparatur khusus yang mengatur apa yang mesti dilakukan dan tidak dilakukan orang. Celakanya, dalam alam modern ini, pandangan primitif abad pertengahan ini masih diadopsi oleh sebagian negara-negara muslim seperti Saudi Arabia, Sudan, Iran dan provinsi Aceh di Indonesia.
Dalam melakukan aksi kekerasannya, kelompok-kelompok Islam garis keras juga kerap menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai tameng untuk menghancurkan diskotik, bar-bar, hingga rumah-rumah ibadah. Penganiayaan warga Ahmadiah beberapa waktu yang lalu, juga dikobarkan di bawah bendera amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan menurut Muhammad Shahrur, amar ma’ruf nahi munkar adalah salah dari empat doktrin yang ditengarai menjadi pemicu lahirnya tindak terorisme di dunia Islam (tiga lainnya adalah al wala wa al barra, al jihad wa al qital, dan mas’alat al riddah). Di bawah bendera amar ma’ruf nahi munkar, mereka beranggapan perlu mengambil wewenang malaikat raqib-atid dan mengawasi tindak tanduk setiap orang. Atas nama amar ma’ruf nahi munkar pula, mereka merasa perlu memberantas “paham-paham sesat” dan “menyimpang”. Mereka meyakini bahwa Allah akan mendatangkan bencana alam, sebagai siksa bagi mereka yang melihat kemunkaran tapi diam saja, - sungguh sebuah penafsiran agama yang menggelikan di tengah perkembangan canggih teknologi dan sains modern. Atas dasar logika ini, mereka merasa terpanggil untuk menumpas setiap kemunkaran yang mereka temui, - berdasar hadist nabi - dengan kekuatan atau ucapan kalau bisa, dan jika tidak maka melalui hati dengan catatan dinilai sebagai orang yang rendah imannya (dzawi al Iman al dha’if).
Pandangan ortodoksi seperti ini, tentu tidak bisa dicerna oleh logika masyarakat modern yang menghargai perbedaan, kebebasan, dan memberikan otonomi penuh kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Pada era di mana pilihan dan konsekuensi setiap tindakan manusia sangat dijunjung tinggi, maka pengawasan dan tekanan terhadap kebebasan individu menjadi sangat tidak manusiawi. Agama harus belajar percaya dan melihat manusia dari sudut pandang positif, dan menghilangkan mitos yang menyatakan jika manusia dilepas tanpa pengawasan bisa mendatangkan kekacauan dan kerusakan. Bukankah al Qur’an menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung pada kebaikan ” innahu lihubbi al khairi lasyadid”? Bukankah pula pilihan manusia begitu ditoleransi oleh al Qur’an, termasuk pilihan untuk menjadi tidak baik “faman sya’a falyu’min, faman sya’a fal yakfur”? lantas alasan apalagi yang menolak memberikan otonomi penuh kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri.
Jika memang demikian, bisakah kita mengaksentuasikan iman kita tanpa melanggar kebebasan dan pilihan orang lain? Bisakah kita berdakwah: ber-amar ma’ruf nahi munkar tanpa harus menjadi psikopat yang haus darah? Dan bisakah kita menjadi mukmin yang otentik sekaligus menjadi toleran sejati?
Adalah Muhammad Sharur, seorang pemikir muslim progressif dari Suriah, satu di antara seribu tokoh muslim yang relatif berhasil menjelaskan doktrin amar ma’ruf nahi munkar ini dari konteks kebutuhan masyarakat modern. Melalui buku Tajfîf Manâbi al Irhâb, setidaknya ada tujuh poin yang bisa disarikan dari pandangan tokoh tersebut tentang bagaimana amar ma’ruf nahi munkar yang benar di abad 21 ini. pertama-tama ia mengkritik isi hadist tentang taghyir al munkar yang terkenal itu dan menilainya bertentangan dengan ruh QS al Nisa/4:34 tentang sikap keras kepada istri. Menurut Shahrur, isi hadist tersebut menyuruh mendahulukan sikap keras terlebih dahulu dari sikap lembut (min al aghlazh ila al althaf). Ini berkebalikan dengan semangat surah al Nisa yang menyuruh berdakwah secara bertingkat dari mulai yang lembut terlebih dahulu baru yang keras (min al althaf ila aghlazh). Bagi Shahrur, kalaupun hadist ini sahih, ia menjelaskan kasus spesifik tertentu yang tidak bisa digeneralisir.
Kedua, amar ma’ruf nahi munkar di era modern ini, menurut Shahrur mensyaratkan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, serta kebebasan berkeyakinan dan berekspresi tanpa ada rasa takut. Dengan demikian, pilihan-pilihan manusia itu menjadi jujur dan ikhlas, baik ataupun buruk, atas dasar kesadarannya, dan bukan karena diawasi dan dipaksa. Tanpa semua kebebasan ini, amar ma’ruf nahi munkar tidak lebih dari cemeti yang memaksa manusia untuk menjadi mahluk-mahluk hipokrit.
Ketiga, dalam ranah sosial, amar ma’ruf nahi munkar disosialisasikan melalui asosiasi-asosiasi masyarakat sipil lewat penyuluhan dan pencerahan, penerangan kepada masyarakat bukan melalui paksaan, pengawasan dan ancaman aparatur negara.
Keempat, dalam ranah politik, amar ma’ruf nahi munkar mensahkan adanya pihak oposisi yang memberi kritik terhadap negara. Seperti diketahui, negara adalah institusi yang rentan terkena korupsi. Di sinilah peran oposisi dalam membongkar dan membeberkan setiap cacat dan kerusakan program yang dijalankan pemerintah terpilih melalui prosedur yang legal dan beradab. Tentu saja, kata Sharur, kondisi ini mensaratkan negara itu adalah demokratis, dan bukan represif (daulah dlabthin, la daulah qama’in).
Kelima, dalam kehidupan bernegara, amar ma’ruf nahi munkar itu diaplikasikan melalui penerapan undang-undang yang telah disepakati bersama. Ketaatan kepada undang-undang ini (al thâ‘ah li al qawânin al nâfidzah), bagi warga negara ditujukan demi memelihara ketertiban umum dan melindungi kebebasan setiap individu.
Keenam, terkait dengan penerapan undang-undang negara, maka aspek hukum yang diikat di dalamnya adalah hanya segi-segi kehidupan yang mengatur wilayah publik saja. Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar dalam level negara tidak seharusnya mengatur wilayah-wilayah privat seperti keimanan, ibadah ritual, dan pola kehidupan seseorang. Adapun yang tersebut terakhir ini, biarlah menjadi bagian amar ma’ruf nahi munkar dalam level masyarakat sipil saja.
Ketujuh, Shahrur mewanti-wanti kaum muslimin supaya jangan tertipu, bahwa ormas-ormas dan partai Islam yang mengaku memiliki agenda dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, sekarang ini sejatinya tidak lebih dari dakwah sektarian yang terikat dengan kepentingan kelompok mereka saja. Mensikapi mereka, cukup sebagaimana kita mensikapi ormas dan partai sekuler saja. Tidak lebih, dan tidak kurang.
Pesan empatik yang terkandung dalam doktrin dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar, sebetulnya sah-sah saja jika disalurkan secara benar. Pada hakekatnya dakwah memberikan kebebasan seluas-luasnya pada audien (mad’u) untuk menerima atau menolak. Nabi diberingatkan “engkau hanyalah seorang penyampai (al balagh)”. Dan karena hidayah adalah sepenuhnya prerogatif Allah, maka berkeinginan menyelamatkan orang dengan merampas kebebasan dan menindas orang lain adalah sebuah ironi yang perlu dipertanyakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
bahan http://islamlib.com/id/