A. Pendahuluan
Aktifitas dipesantren |
Gejala tren pesantren dewasa ini juga muncul dilingkungan perkotaan, seperti fenomena kemunculan beberapa pesantren mahasiswa/pelajar, seperti di malang misalnya Al-Hikam, Ulil Absor, Firdaus, Dar al-Hijrah, dan beberapayang lain. Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa meskipun sistem pendidikan pesantren memiliki beberapa kelemahan, namun ternyatamasih dianggapsebagai tempat paling efektif untuk memperkenalkan Islam.
B. Sejarah Pertumbuhan Pesantren
a. Pengertian Seputar Pesantren
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[1]
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri atau tempat murid / santri mengaji.
Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendaptnya pada ahli antara lain:
M. Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi.[2]
Sedangkan dalam tulisan Karel A. Steenbrink, model pendiskripsinya masih bermuara pada seputar hubungan pesantren dengan warisan Hindu-Budha, atau juga hubungan pesantren dengan tradisi kebangkitan Islam abad pertengahan di Timur-Tengah.[3]
b Sistem Nilai dalam Pesantren
Dalam pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi Islam. Secara khusus Nurcholis Madjid menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa- ‘l-jama’ah.[1] Dimana, jika dibahas lebih jauh akar-akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah, walaupun biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-Ash’ary dan juga al-Ghazali.[2] Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut (madzhab Sunni).
Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi tersebut, mempengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kyai, dimana Kyai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari masing-masing memiliki efektifitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan komponen-komponen pendidikannya.[3]c Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial maupun ekonomi.
a. Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pada sebagian pesantren terutama pada pesantren-pesantren lama, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Bahkan dalam kajian atau hasil penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik jarang diketemukan, seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A. Steenbrink. Tentang pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren, lebih banyak mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan interaksi santri dan kyai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk Al-qur’an dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.[1]
C. Tipologi Pesantren: Macam-Macam Jenis Pesantren
Secara garis besar, lembaga pesantren di Jawa Timur dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu:[1]
a. Pesantren Salafi : yaitu pesantren yang tetap mempertahankan sistem (materi pengajaran) yang sumbrnya kitab–kitab klasik Islam atau kitab dengan huruf Arab gundul (tanpa baris apapun). Sistem sorogan (individual) menjadi sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan.
b. Pesantren Khalafi : yaitu sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu pengajaran secara klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini menambahnya berbagai ketermpilan.
D. Pola Lama Dunia Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal muslaim tradisional mengalami stagnasi.[1]
E. Corak Pembaharuan Pesantren
Menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat, dunia pesantren mengalami pergeseran kearah perkermbangan yang lebih positif, baik secara struktural maupun kultural, yang menyangkut pola kepemimpinan, pola hubungan pimpinan dan santri, pola komunikasi, cara pengambilan keputusasan dan sebagainya, yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dengan landasan nilai-nilai Islam. Dinamika perkembangan pesantren semacam inilah yang menampilkan sosok pesantren yang dinamis, kreatif, produktif dan efektif serta inovatif dalam setiap langkah yang ditawarkan dan dikembangkannya. Sehingga pesantren merupakan lembaga yang adaptif dan antisipatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai relegius.
F Prospek Pesantren di Masa Depan : Peluang dan Tantangan
Dalam Khozin (Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia :2006) lembaga pendidikan terutama uyang berbasis diperdesaan telah mengalami sejaranh yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. Dengan berjalannya waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses dan dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkanupaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia tampak dalam beberapa hal. Pertama peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977 ada 4.19 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938397 santri pada tahun 1981 [1], kemudian meningkat lagi menjadi 15900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta pada tahun 1985[2]. Kedua, kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sunber dana maupun tenaga, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif (Billah, 1988:12). Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Pesantren jugamerupakan lembaga yang tepat dalam mendinamisir dirinnya di tengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
[3]Selain peluang di atas tersebut saat ini pesantren dihadapkan pada tantangan seperti kemampuan pesantren dalam memperebutkan peserta didik, seperti menurut Dhoifer (1992), bahwa dominasi pesantren dalam dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an salah satu faktornya adalah lapangan pekerjaan modern mulai terbuka yang mendapat latihan-latihan di sekolah umum. Hal ini mengakibatkan menurunnya minat kaum muda terhadap pendidikan pesantren dibanding dengan sekolah-sekolah umum, sementara perhatian pemerintahan sejak proklamasi terhadap sistem pendidikan nasional.
Namum, demikian, penulis berkesimpulan lembaga pendidikan pesantren prospeknya masih sangat menjanjikan, dan tetap akan berkembang sepanjang waktu dengan dinamika dan prosesnya yang berbeda.
[1] Ibid. hal 102.
[2] Kertakusuma dalam khozin, jejak-jejak pendidikan Islam Di Indonesia (Malang ;2006) hal 107.
[3] Ibid hal,108.
[1] Muhammad Ya’cub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Desa, (Bandung: 1984), hal. 23
[1] Op.Cit, 10-20
[1] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: 1997), 31
[2] ibid. hal. 32
[3] M. Dawam Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: 1985), hal. 78
[1] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta, 2002), hal. 62
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 2. 1994, hlm. 18
[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: 1989), hal. 23.
*Arief Sugianto Mahasiswa tarbiyah FAI UMM