Belajar dari Jepang dalam
Mengembangkan IQ, Menumbuhkan EQ, dan Menanamkan SQ
Jepang merupakan salah satu kekuatan besar dalam era globalisasi ekonomi,
politik, pendidikan, dan budaya, selain Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Perjalanan pembangunan Jepang membangun kekuatan global mengalami siklus, mulai
tahap pengembangan pada masa Ieyasu, tahap pengenalan pada masa Kekaisaran
Tokugawa, tahap pertumbuhan sampai kematangan pada masa Restorasi Meiji, tahap
kejenuhan pada masa Kaisar Showa, dan tahap penurunan pada masa Perang Dunia
II. Setelah itu, Jepang kembali bangkit dan menjadi negara maju yang adil dan
makmur.
Kemajuan Jepang yang
cepat dan pesat disebabkan keberhasilan bangsa Jepang mengelola tiga kecerdasan
bangsa, yaitu mengembangkan kecerdasan intelektual (to develop the IQ),
menumbuhkan kecerdasan emosional (to grow the EQ), dan menanamkan
kecerdasan spiritual (to internalize the SQ). Pengembangan kecerdasan
intelektual bangsa Jepang dilakukan melalui sistem pendidikan yang konsisten
dan bermutu sejak Restorasi Meiji sampai sekarang. Penumbuhan kecerdasan
emosional berlangsung secara mudah karena Jepang merupakan negara yang
benar-benar “satu nusa”, “satu bangsa”, dan “satu bahasa”.
Karakter bangsa
Jepang yang rajin, terampil, gigih, tidak menyia-nyiakan waktu dan peluang, serta
selalu berusaha mencapai keberhasilan ditempa dan dibentuk oleh sempitnya tanah
dan adanya empat musim. Penananam kecerdasan spiritual sangat dipengaruhi oleh semangat
Bushido yang sangat asketik, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi kode
etik dan tata krama dalam kehidupan. Tradisi dan budaya Jepang yang sudah
terbiasa dan turun-temurun menanamkan kecerdasan spriritual dengan metode Repetitive
Magic Power (RMP), menjadikan Jepang sebagai bangsa yang memiliki
kepribadian luhur.
Mengembangkan Kecerdasan Intelektual
Proses pengembangan kecerdasan intelektual bangsa Jepang melalui pendidikan bisa dilacak sejak Restorasi Meiji (1852-1912), ketika para samurai yang berpikiran maju menghendaki Jepang yang modern. Setelah selesainya era Tokugawa yang penuh perang, Jepang mengalami masa damai selama 200 tahun. Ketika memasuki era damai selama 200 tahun itu, para samurai mengabdikan diri sebagai guru. Para samurai kebanyakan mendidik kasta pedagang, karena para pedagang ingin naik kasta. Hasil pendidikan para samurai adalah tingginya tingkat melek huruf orang Jepang di era Meiji yang mencapai 98%. Pada periode yang sama tingkat melek huruf Eropa ketika itu, paling tinggi masih sekitar 60-70% (Prasetyawan, 2006).
Menumbuhkan Kecerdasan Emosional
Penumbuhan kecerdasan emosional atau kesetiakawanan sosial di Jepang dapat berlangsung secara mudah karena Jepang merupakan negara yang benar-benar “satu nusa”, “satu bangsa”, dan “satu bahasa”. Hampir semua dari 127 juta penduduk Jepang adalah ras Mongoloid Asia sehingga masyarakatnya relatif homogen. Bahasa Jepang merupakan bahasa nasional, dan digunakan di semua lembaga pendidikan. Secara sosial-ekonomi, tidak terjadi kesenjangan yang tinggi dalam kekayaan, dan hampir semua orang Jepang dapat dikatakan berada dalam kelas menengah dengan pendapat rata-rata pekerja sekitar 7 juta yen (sekitar Rp.560 juta) per tahun.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para petani dituntut untuk dapat memanfaatkan tanah yang sempit sehingga menghasilkan padi yang banyak, juga menjadi bangsa yang selalu berusaha. Kehidupan bertani juga mengajarkan kepada bangsa Jepang cara bergaul yang baik dengan orang lain. Iklim yang berubah-ubah dan suasana masyarakat petanilah yang menyebabkan bangsa Jepang dapat berusaha dan hidup di luar negaranya. Selain itu, iklim empat musim mempengaruhi watak bangsa Jepang menjadi kreatif dan mampu membuat barang-barang berkualitas yang mudah dipasarkan ke seluruh dunia. Kesemuanya menjadi modal dasar bangsa Jepang dalam memenangi persaingan di era globalisasi ini.
Menanamkan Kecerdasan Spiritual
Pendidikan yang dilakukan kasta samurai sejak era Tokugawa tidak saja mampu mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga berhasil menanamkan kecerdasan spiritual dan membentuk kepribadian bangsa Jepang. Kedubes Jepang (2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya kepribadian Jepang sangat dipengaruhi oleh semangat Bushido yang sangat asketik, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi kode etik dan tata krama dalam kehidupan. Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan, dan sebagainya.
Para karateka Jepang misalnya, mereka diminta berteriak, “Saya juara !”, hingga hitungan ke 100 sebelum mereka berlatih. Cara yang sama dilakukan oleh perusahaan Matsushita di seluruh dunia. Setiap hari setelah apel pagi dan senam Taisho, seluruh karyawan Masushita akan membaca berulang-ulang kata-kata berikut: (1) Berbakti dan Memberi, (2) Jujur dan Terpercaya, (3) Adil, (4) Kerjasama atau Bersatu, (5) Berjuang atau Bersikap Teguh, (6) Ramah dan Penyayang, dan (7) Bersyukur dan Berterima Kasih.
Tradisi dan budaya Jepang yang sudah terbiasa dan turun-temurun menanamkan kecerdasan spriritual dengan metode RMP, menjadikan Jepang sebagai bangsa yang memiliki kepribadian luhur. Melalui perusahan-perusahaan Jepang yang tersebar di seluruh belahan dunia, bangsa Jepang telah berperan melakukan globalisasi budaya dengan mengubah kepribadian bangsa lain.
Mengembangkan Kecerdasan Intelektual
Proses pengembangan kecerdasan intelektual bangsa Jepang melalui pendidikan bisa dilacak sejak Restorasi Meiji (1852-1912), ketika para samurai yang berpikiran maju menghendaki Jepang yang modern. Setelah selesainya era Tokugawa yang penuh perang, Jepang mengalami masa damai selama 200 tahun. Ketika memasuki era damai selama 200 tahun itu, para samurai mengabdikan diri sebagai guru. Para samurai kebanyakan mendidik kasta pedagang, karena para pedagang ingin naik kasta. Hasil pendidikan para samurai adalah tingginya tingkat melek huruf orang Jepang di era Meiji yang mencapai 98%. Pada periode yang sama tingkat melek huruf Eropa ketika itu, paling tinggi masih sekitar 60-70% (Prasetyawan, 2006).
Menumbuhkan Kecerdasan Emosional
Penumbuhan kecerdasan emosional atau kesetiakawanan sosial di Jepang dapat berlangsung secara mudah karena Jepang merupakan negara yang benar-benar “satu nusa”, “satu bangsa”, dan “satu bahasa”. Hampir semua dari 127 juta penduduk Jepang adalah ras Mongoloid Asia sehingga masyarakatnya relatif homogen. Bahasa Jepang merupakan bahasa nasional, dan digunakan di semua lembaga pendidikan. Secara sosial-ekonomi, tidak terjadi kesenjangan yang tinggi dalam kekayaan, dan hampir semua orang Jepang dapat dikatakan berada dalam kelas menengah dengan pendapat rata-rata pekerja sekitar 7 juta yen (sekitar Rp.560 juta) per tahun.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para petani dituntut untuk dapat memanfaatkan tanah yang sempit sehingga menghasilkan padi yang banyak, juga menjadi bangsa yang selalu berusaha. Kehidupan bertani juga mengajarkan kepada bangsa Jepang cara bergaul yang baik dengan orang lain. Iklim yang berubah-ubah dan suasana masyarakat petanilah yang menyebabkan bangsa Jepang dapat berusaha dan hidup di luar negaranya. Selain itu, iklim empat musim mempengaruhi watak bangsa Jepang menjadi kreatif dan mampu membuat barang-barang berkualitas yang mudah dipasarkan ke seluruh dunia. Kesemuanya menjadi modal dasar bangsa Jepang dalam memenangi persaingan di era globalisasi ini.
Menanamkan Kecerdasan Spiritual
Pendidikan yang dilakukan kasta samurai sejak era Tokugawa tidak saja mampu mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga berhasil menanamkan kecerdasan spiritual dan membentuk kepribadian bangsa Jepang. Kedubes Jepang (2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya kepribadian Jepang sangat dipengaruhi oleh semangat Bushido yang sangat asketik, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi kode etik dan tata krama dalam kehidupan. Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan, dan sebagainya.
Para karateka Jepang misalnya, mereka diminta berteriak, “Saya juara !”, hingga hitungan ke 100 sebelum mereka berlatih. Cara yang sama dilakukan oleh perusahaan Matsushita di seluruh dunia. Setiap hari setelah apel pagi dan senam Taisho, seluruh karyawan Masushita akan membaca berulang-ulang kata-kata berikut: (1) Berbakti dan Memberi, (2) Jujur dan Terpercaya, (3) Adil, (4) Kerjasama atau Bersatu, (5) Berjuang atau Bersikap Teguh, (6) Ramah dan Penyayang, dan (7) Bersyukur dan Berterima Kasih.
Tradisi dan budaya Jepang yang sudah terbiasa dan turun-temurun menanamkan kecerdasan spriritual dengan metode RMP, menjadikan Jepang sebagai bangsa yang memiliki kepribadian luhur. Melalui perusahan-perusahaan Jepang yang tersebar di seluruh belahan dunia, bangsa Jepang telah berperan melakukan globalisasi budaya dengan mengubah kepribadian bangsa lain.
Era
globalisasi ekonomi, politik dan budaya memberikan tantangan sekaligus
peluang bagi setiap bangsa. Setiap bangsa dapat memperoleh manfaat dari
era globalisasi itu jika dapat mengelola kekuatan yang dimiliki
bangsanya. Bangsa Jepang telah menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa
yang mampu menjadi pemenang pada era globalisasi dengan mengelola tiga
kecerdasan bangsanya, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan
spiritual, sehingga jadilah bangsa Jepang yang cerdas, maju, tangguh,
dan kaya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar.
2006. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power. Cetakan Kedelapan, Januari 2006.
Penerbit Arga. Jakarta.
Fatwa, A.M. 2006.
Kontroversi Masalah Pendidikan dan UN. Kompas, Senin 17 Juli 2006.
Fukumoto,
Kazutoshi. 1997. Why are Japanese People Diligent, Skillful and Rich ?. Cetakan Kedua, July 1997. Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ghozali, Abas.
2001. Sistem Pendidikan di Jepang. Jurnal Pendidikan Nasional No. 27. Balitbang
Depdiknas. Jakarta.
Humaniora. 2006. Menuai
Dampak Kegagalan Pendidikan Nasional. Humaniora Edisi Vol. 7/XVIII/Juni 2006.
Kedubes Jepang. 2006.
Serba-serbi Karakter Jepang: Kesadaran Kelompok, Kerja Keras, Bushido, dan
Senyum Jepang. www.id.emb-japan.gp.jp
(2 September 2006)
Kompas. 2005.
Restorasi Meiji ala Indonesia. Kompas, Sabtu 30 April 2005.
Prasetyawan,
Wahyu. 2006. Menunggang Tradisi, Jepang Raih Modernisasi. Jaringan Islam
Liberal. http://islamlib.com
(15 Mei 2006)
Sucahyo,
Nurhadi. 2003. Alih Pola Pikir dan Cara Hidup, Menuju Indonesia yang Lebih
Inovatif. Inovasi Online, Minggu 9 Nopember 2003. PPI Jepang,