Latest Post
12:08
SISTEM PENDIDIKAN DI JERMAN
PENDIDIKAN DI JERMAN
Membangun Rasa Kebangsaan
oleh arif sugianto
Membangun Rasa Kebangsaan
oleh arif sugianto
Jika membincang
seputar pendidikan khususnya di Jerman, yang terlintas dalam benak pembaca
adalah sekolah-sekolah yang sangat teratur dengan dispilin yang sangat ketat
dengan setiap akitivitas pendidikan yang diatur hingga hal yang paling kecil
sedikitpun. Sehingga berita yang beredar di luar negri adalah suatu sistem
pendidikan yang diatur sedemikian hingga yang disesuaikan dengan upaya nasional
secara menyeluruh untuk mencapai supremasi militer. Sedangkan di dalam negri,
atau di Jerman sendiri, sekolah menadapatkan kepercayaan untuk mengangkat
status Negara dari kekalahan menuju kekaisaran yang besar hanya dalam kurun
waktu dua generasi. Hal ini menjadikan guru di Jerman adalah seorang pahlawan
yang mengukir sejarah
Dalam buku ini
dijelaskan, yang mengukir kesan kuat luar negri atas Jerman bukanlah pola
pendidikan yang ada bukanlah pola
pendidikan Jerman, namun adalah pola pendidikan di Prusia yang merupakan suatu
Negara bagian Jerman yang tetap merdeka hingga hampir sepanjang abad lalu.
Pada saat kekaisaran
Roma tidak kunjung berhasil untuk mendapatkan control politik atas sebagian
bangsa Jerman, di saat bangsa Franka dan kepala dinasti Merovingian berhasil
memperluas daerah kekuasaannnya hingga Elba dan sebagian besar wilayah yang
kini menjadi wilayah Prancis, Low Country dan Jerman Barat. Di sisi lain
Gereja Roma menegrahkan segala daya dan upayanya untuk mendirikan sekolah di pusat-pusat
populasi utama Jerman dengan mengelola sekolah biara. Tidak terlepas dari
kepentingan pendidikan gereja itu sendiri maka pendidikan yang dibangunnya
hanya meliputi pendidikan pendeta dan pendidikan rakyat bisa tidak di cakup.
Karena melihat
realita pendidikan di Jerman pada masa itu hanya sekedar untuk kalangan gereja,
maka untuk menghilangkan paham sekuler dan non religius serta pentingnya
pengetahuan akan membaca dan menulis seperti yang dirasakan oleh bangsa daerah
pesisir di Jerman, maka mereka menginginkan adanya pendampingan guru unruuk
mengarahkan mereka dalam melatih kemampuan membaca dan menulis. Berangkat dari
minat masyarakat inilah akhirnya bermunculan sekolah daerah yang mengajarkan
mereka membaca, menulis, membuat laporan keuangan, dan saat perdagangan
berkembang, dan belajar bahasa dari bahasa bangsa lain. Mulai saat itu
perkembangan sekolah dan perguruan tinggi meningkat pesat yang didalangi oleh
pemerintah kota praja setempat. Beriringan dengan itu maka sekolah-seolah latin
kotapraja mulai bermunculan yang mendukung pada bidang study Yunani dan Latin
Klasik sehingga memunculkan jenis khas sekolah yang dikenal sebagai Gymnasium
yang nantinya jenis sekolah ini akan menjadi standar ukuran sekolah menengah di
Jerman samapai sekarang.
Pada awal abad ke
15 hingga abad ke 19 pertikaian antara beberapa Negara berlangsung sengit di
Jerman hingga pada akhirnya tahun 1555 mereka sepakat untuk mengakhiri konflik
keagamaan itu dengan mengizinkan masing-masing pemimpin negara untuk memilih
agama yang dipercayainya yang kemudian ditegakkan di negaranya, dan mewajibkan
seluruh warga negara untuk mengikutinya. Kesepakatan ini dikenal dengan
perjanjian Augsburg (Peace of Augsburg). Sementara itu negara Protestan
mengambil alih tanah dan properti lain milik Gereja Katolik Roma, termasuk
sekolah-sekolah. Banyak sekolah-sekolah yang akan dirubah untuk tujuan
Protestan. Khususnya pelatihan pendeta, guru dan pemimpin lainnya. Seiring
dengan berkembangnya antusiasme terhadap agama baru maka bermunculanlah
sekolah-sekolah baru.
Akibat perjanjian
inilah yang akhirnya membuat Prusia untuk menganut paham Lutheranisme.
Dan follow up dari perjanjian ini muncullah sekolah-sekolah yang menerapkan
atau mengajarkan bahasa daerah (Vernacular School) di bawah naungan
gereja serta berdirinya gereja-gereja baru pun dipelopori oleh perjanjian ini.
Yang kemudian bagi anak yang berusia 6 hingga 12 tahun diwajibkan untuk belajar
dan bergabung disekolah ini. Selain Prusia, Bavaria pun mendirikan sekolah
untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat serta kebutuhan religiusnya.
Kewajiban untuk sekolah pada anak usia 6 hingga 12 tahun ini memiliki
pengecualian bagi anak-anak bangsawan atau orang kaya yang mendapatkan
pendidikan dengan cara lain seperti mendatangkan guru di rumah-rumah mereka
hingga mereka siap untuk memasuki Gymnasium (sekolah menengah atas).
Berjalannya waktu mengalami beberapa masalah salah satunya adalah pada
aktivitas beberapa gereja yang tak begitu giat untuk melakukan kontroling
terhadap sekolah-sekolah yang berada di bawah gereja. Sehingga pemerintah
melakukan kebijakan untuk membentuk semacam cabang khusus dari pemerintah sipil
untuk menangani dan mengawasi beberapa lembaga pendidikan agar tidak terjadi
stagnasi dalam perkembangan pendidikan yang disebut dengan Oberschulkolllegium
atau komisi tinggi untuk sekolah. Walaupun menjadi bawahan dari pihak sipil
yang dibentuk oleh pemerintah namun sekolah menengah dan perguruan tinggi ini
memiliki hubungan yang erat terhadap gereja dan diwajibkan memberikan
pendidikan agama di dalamnya.
Perjalanan roda
pendidikan yang berjalan di Jerman khususnya negara bagian Prusia ini tidak
laepas dari pengaruh politik pada saat itu, dimana Napoleon melenyapkan
sebagaian daerah Prusia, memberatiya dengan hutang besar, membatasi pasukan
hingga 42.000 rang, dan menempatkan pasukan Prancis di tempatnya, oleh kaarena
itu kesempatan untuk membangun negara benar-benar tertutup. Namun, pendidikan
yang disediakan oleh Gymnasiendan universitas yang berkembang lewat
persaingan kota praja dan negara mulai menampakkan hasilnya. Hal ini dibuktikan
denan lahirnya para cendekiawan dan para penulis, diantaranya Kleist dan
Fichte, dengan memulai persenjataan diri spiritual kembali.
Dalam hal ini
terdapat beberapa faktor yang turut berperan dalam kemajuan pendidkan di Jerman
khususnya negara bagian Prusia. Peran sosial, walaupun tanpa pembiayaan resmi
dari pnegara, namun pemerintah tetap menginstruksikan terhadap gereja-gereja
yang ada untuk menggiatkan proses belajar mengajarnya, sehingga inovasi-inovasi
dalam pendidkan terus bermunculan, salah satunya adalah yang diprakarsai oleh
Francke, Basedow, dan Salzman yang memperlihatkan bahwasannya pentingnya
pendidikan dalam meningkatkan derajat sosial dan moral bangsa. Pembaharuan itu
juga meliputi tentang metode dan kurikulum pendidikan. Namun terdapat suatu
pembaharuan khusus yang sangat menarik yakni pendidikan yang dikembangkan oleh
Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, walaupun sangat religius, Pestalozzi
percaya bahwa prinsip panduan yang penting untuk mengembangkan karakter yang
kuat dan tujuan hidup yang layak dapat diajarkan paling baik apabila mberkembang
secara induktif dari pengalaman indrawi siswa sendiri. Oleh karen itu dia
berkonsentrasi pada penentuan pengalaman indrawi manakah yang paling baik
memenuhi tujuannya ini serta urutan cara penyamapaiannya. Kurikulum dan
meodologi yang dihasilkannya sangat mengesankan terutama para pejabat Prusia
dan mereka memutuskan untuk memasukkannya pada sekolah negeri. Dan perlu
diperhatikan bahwasannya sistem persekolahan di Prusia bukan merupakan hasil
tuntutan rakyat, melainkan dibentuk dan diadakan menurut titah raja.
Di sisi lain
struktur kekuasaan dan organisasi administratif juga memberikan andilnya dalam
pembangunan jerman dan pengembangan sistem pendidikan. Pada penghujung abad 18
raja semakin tertaarik oleh perkembangan sekolah yang dikelola oleh pihak
gereja walaupun mereka tidak mendapatkan bantuan dana dari kas pemerintah. Hal
ini menyebabkan semakin berkembangnya sekolah yang ditangani langsung oleh
pihak pemeritah seperti sekolah menengah dan universitas. Sekolah menengah ini
memberikan kesempatan pada rakyat untuk menjadi pemimpin dalam mengembangkan
pendidikan, teknik dan ilmu pengetahuan. Namun lembaga atau badan pengurus
sekolah yang pernah dibentuk oleh pemerintah menjadi tidak efektif. Oleh
karenanya pemerintah menjadikan hokum perdata untuk mengatasi itu semua sebagai
wewenangnya, raja memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk membiayai
sekolah mereka dengan membayar pajak, sekolah diwajibkan memberikan gaji yang
layak bagi guru, di sisi lainm raja sendiri tidak memberikan bantuan dana dalam
hal ini. Ulama geereja dalam hal ini menjadi penilik sekolah.
Pada pergantian
abad, sebuah komisi kerajaan dibentuk untuk melaporkan perkembangan sekolah,
dan alhasil mutu dari sekolah-sekolah yang tersedia memiliki mutu yang sangat
rendah dan jauh dari apa yang diharapkan. Maka strategi yang diambil adalah
guru diharuskan untuk mengerjakan suatu keterampilan agar memperoleh biaya
hidup. Oleh sebab itu para guru sering menggunakan toko atau tempat kerja untuk
melakukan kegiatan belajar mengajar sembari mangwasi murid-muridnya dengan
bekerja. Selain itu Oberschulkollegium (badan pengurus sekolah) yang
dirasa kurang efektif diganti dengan instansi nasional atau kementrian
pendidikan. Awalnya instansi ini beroperasi sebagi biro pada Kementrian Dalam
Negri namun pada 1817 kepentingannya dalam upaya nasional menjadi sedemikian
nyata sehingga dijadikan departemen di bawah Kementrian Agama, Pendidikan dan
Kessehatan Masyarakat. Divisi-Divisi terpisah didirikan untuk mengurus
pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sedangkan universitas merupakan lembaga
pendidikan yang tidak berdiri sendiri atau bisa dikatakan tidak mandiri karena
universitas mendapatkan subsidi dari kas kerajaan dan berada di bawah
perlindungan raja. Namun kini universitas tanggungjawabnya langsung dialihkan
pada Kementrian pendidikan. Sedangkan pendidikan dasar dan menengah di bawah
pengawasan Kementrian Dalam Negri tingkat provinsi. Sekolah dasar dan menengah
sangatbermacam-macam karena gereja, kotapraja, serikat pekerja, asosiasi dagang
dan bahkan perseorangan diberikan hak untuk mendirikan sekolah yang diinginkan.
Sehingga dibentuklah sebuah komite pendidikan untuk memusatkan kegiatan belajar
mengajar pada jenjang sekolah dasar dan menengah (Schulkollegnen). Dari
komite ini muncul dua prosedur , pertama, mempersyaratkan guru
mendapatkan ijazah dari Schulkollegnen dengan menetapkan program studi
yang harus dipelajari oleh calon-calon guru di universitas serta mempersiapkan
dan melaksanakan ujian ijazah. Kedua mempersyaratkan ujian seragam untuk
mengatur mengatur penerimaan ke universitas dan dilaksanakan pada tingkat
provinsi. Schulkollegnen juga berperan untuk melakukan pelatihan atas
guru sekolah dasar, tetapi pemerintah pusat berperan aktif dan mengamban suatu
tanggungjawab keuangan termasuk biaya untuk mengatur seminar guru. Selain itu
sekolah dasar langsung berada di bawah distrik administratif (Regierungsbezirk).
Unit ini juga dikepalai oleh seorang pemimpin dan dewan yang diangkat oleh
Mentri Dalam Negri. Urusan pendidikan didelegasikan pada seorang anggota dewan
yang disebut dengan Schulrat atau penasehat sekolah. Walaupun Schulrat
yang mengarahkan implementasi program resmi pendidikan dasar dalam distriknya,
pendirian dan penyelenggaraan sekolah yang sebenarnya masih menjadi
tanggungjawab unit administratif bawah, masing-masing adalah Kreise dan Gemeinden.
Gemeinden adalah distrik sekolah setempat, biasanya meliputi penduduk
sebuah desa kecil. Sedangkan Kreise adalah terdiri dari beberapa Gemeinden
dan dapat disamakan dengan sebuah wilayah yang dipimpin oleh seseorang pengawas
dalam hirarki gereja.
Fungsi pendidikan
utama mula-muala terbentuk pada tingkatan Kreise atau lingkungan yaitu
menilik sekolah dasr, sebuah kewajiban yang dilaksanakan oleh Kreischulinspector.
Kreischulinspector merupakan anggota ulama gereja. Rekomendasi untuk
jabatan inspektur sekolah di tingkat propinsi dilakukan oleh otoritas gereja,
tetapi pengangkatannya dilakukan oleh Mentri Pendidikan. Penataan administrasi
ini jelas memperlihatkan niat pemerintah untuk mengganti kontrol gereja
tradisional dengan kontrol sipil. Penolakan public dihindari atau ditampik
dengan tetap adanya sekolah paroki dan sekolah kotapraja yang tetap
memanfaatkan jasa layanan ulama gereja setempat untuk menjadi inspektur
sekolah. Pada awalnya, aktivitas pemerintah dalam meningkatkan jumlah dan mutu
sekolah dibatasi, namun setelah disetujui sebagain otoritas tertinggi dalam
urusan pendidikan, pemerintah secara bertahap mengarahnkan kembali sekolah
untuk memenuhi tujuan nasional daripada tujuan religius. Satu-satunya alat yang
paling efektif untuk mencapai transformasi ini adalah asumsi otoritas penuh
atas pelatihan, pengangkatan, penggajian, dan promosi guru. Guru sekolah
menengah setidaknya mereka yang diangkat untuk Gymnasien dan dididik di
universitas yang dikontrol negara, sedangkan guru sekolah dasar dieminari oleh
guru yang dikelola negara. Saat pemerintah menjadi reaksioner dan otokratik,
kurikulum dan pengelolaan seminar guru dikontrol sedetil-detilnya sehingga guru
sekolah dasar tak hanya menjadi injstrumen untuk mengatur hidup anak secara
ketat, tetapi juga menjadi alat propaganda efektiif diantara para orang tua.
Sebagai lembaga negara, Gymnasien dan universitas dikontrol secara ketat
oleh pemerintah.
Terdapat institusi
pendidikan berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan sebagai realisasi
dari konsep pendidikan yang dikembangkan di Jerman. Dalam perkembangan
pendidikan yang terjadi diidentifikasi oleh Fancke membutuhkan beberapa lembaga
pendidikan untuk menghasilkan sejumlah sekolah baru, mulai dari sekolah amal
untuk anak-anak orang miskin hingga sekolah berasrama untuk anak orang kaya,
dari kelas pendidikan paling dasar hingga pendidikan guru untuk mahasiswa
universitas di sekitarnya. Maka dari itu terdapat beberapa lembaga yang telah
berhasil didirikan, diantaranya adalah: Sekolah dasar, kaum
royalis yang bangkit kembalikini bergerak lebih cepat untuk mengembangkan sebuh
sistem sekolah yang memisahkan anak-anak miskin dengan anak-anak kelas atas
sepanjang masa pendidikan. Utuk mengembangkan ini pemerintah ntertarik dengan
pendidikan ala Pestalozzi yang digunakan untuk mengajar anak-anak miskin di
Yerdun. Oleh karena itu pada tahun 1809 pemerintah mengirimkan beberapa pemuda
untuk belajar padanya dan sekembalinya mereka, tugasnya adalah untuk
menseminari para guru yang telah berdiri diatas pendidikan suasta. Yang
kemudian hasil dari seminar itu merupakan guru institusi negri yang di bawah
kontrol kementrian. Kurikulum dan program pelatihan dibakukan, langkah-langkah
baru diambil untuk memastikan bahwa institusi itu akan menghasilkan korps guru
baru yang terlatih secara seragam menurut metodologi sistematis yang diadopsi
dari Pestalozzi. Semua guru ini selanjutnya diwajibkan memiliki ijazah dan
diperkenalkan sebuah ujian kualifikasi negara guna mengevaluasi kecakapan
akademik dan kecakapan dan kecakapan paedagogis dan kurikulumnya mencakup
pendidikan umum dan studi paedagogis. Harapannya guru tak hanya bertindak
sebagai npengawas bagi anak namun juga sebagai pengaruh penatar (Up-Grading
influences) dalam komunitas dan lembaga pendidikannya dinamakan dengan Volkschulen.
Sekolah menengah, sebelum tahun 1800, para keluarga
kelas atas telah menyediakan sekolah privat bagi anak-anak mereka. Pengenalan
tentang Volkschulen tidak dapat merubah penataan ini. Di sisi lain
pendidikan menengah juga mencul pada kalangan kotapraja. Beberapa diantaranya
menawarkan sekolah berbahasa daerah untuk kategori pelajaran yang termasuk real.
Yang lain menawarkan bahasa yunani dan Latin yang mempersiapkan pada penerimaan
universitas. Dan beberapa sekolah yang lebih baik menawarkan kedua metode
tersebut, tewrmasuk bahasa asing modern, bahkan ada yang meiliki program
lanjutan yang menyamai fakultas di universitas. Sekolah Teknik dan
Kejuruan, minat pada pendidikan teknik dan kejuruan mulai tampak pada
1800. pada sekoah ini melatih anak laki-laki untuk terjun dalam sebuah
perniagaan atau industri. Jenis pendidikan ini yang lebih teoritis terletak
pada sekolah teknik yang memmberikan persiapan pada satu bidang seperti
pertanian, arsitektur, kehutanan, pertambangan atau dinas pos.
Setelah membahas
panjang lebar tentang perkembangan pendidikan di Jerman khususnya di Prusia,
saat ini kita akan menguraikan perkembangan selanjutnya. Seperti apa yang
terjadi dalam perkembangan pendidikan selanjutnya. Dalam membincangkan
perkembangan pendidikan di Jerman ini ada beberapa periode yang berpengaruh di
dalamnya. Diantaranya adalah, Republik Weimar, kekalahan jerman
dan sekutunya dalam Perang Dunia I memaksa runtuhnya pemerintah monarki,
pengusiran keluarga kerajaan dan berakhirnya dominasi kaum Junker
(golongan tuan tanah) kaitannya dengan urusan dalam negri. Konstitusi Weimar
yang disahkan pada 1918, mendirikan sebuah federasi negara bagian nberbentuk republik.
Dan dalam hal ini pendidikan dijadikan sebagai kegiatan kerjasama antara
pemerintah federal, negara bagian, dan kotapraja berbagi tanggung jawab dan
kekuasaan. Di dorong oleh pihak barat, kekuatan politik liberal mendukung
pembaharuan pendidikan yang lebih luas. Sistem ganda sekolah dasar dilarang.
Sekolah swasta yang selektif dihpus, dan diperkenalkan pendidikan dasr empat
tahun di Grundschulen untuk semua anak. Selain itu regulasi yang
berhubungan dengan hati nurani dan menjadika pendidikan agama sebagai mata
pelajaran pilihan baik bagi guru maupun murid. Periode Nazi, dibandingkan
dengan situasi kekaisaran, pendidikan di bawah pemerintahan Republik Weimar
tampak liberal, tetapi tidak sepenuhnya popular dikalangan masyarakat. Pada
1933 Nazi mengambil alih kontrol atas Jerman dan menyapu bersih semua prestasi
yang dicapai Republik Weimar. Di bawah kendali Nazi, bentuk pemerintahan
terpusat pertama kali diperkenalkan dan satu-satunya dalam sejarah Jerman.
Pendidikan dijadikan tujuan nasional dan diperkenalkan sebuah sistem sekolah
terpadu yang di mulai dari taman kanak-kanak sampai unversitas. Sekolah
menengah dipilih sebagai sekolah pelatihan untuk para pemimpin orde baru ini
dan kurikulum dirombak sepenuhnya untuk memenuhi tujuan itu. prigram pendidikan
Nazi menekankan doktrin ras, supremasi Jerman dan keharusan untuk menghukum
siapa saja yang melakukan kejahatan yang dilakukan untuk menentang rakyat
Jerman. Selain itu bahasa Latin dan Yunani dibatasi , bahasa Inggris dijadikan
bahasa asing utama. Masa bersekolah dikurangi agar tersedia waktu untuk
aktivitas partai nazi yang bermacam-macam. Sedangkan program pendidikan jasmani
yang ada jelas-jelas mengarah pada persiapan wajib militer. Singkatnya
pendidikan menjadi instrument utama untuk mengubah Jerman menjadi mesin perang.
Balatentaranya mulai nampak pada enam tahun kemudian. Setelah Perang
Dunia II,setelah 1945 Jerman kembali mengalami kekalahan tau
kelemahan militer, perekonomiannya lumpuh dan secara politik dikuasai oleh luar
negri. Dalam periode ini banyak sekali usaha yang digunakan untuk menghapuskan
sisa dari periode Nazi. Sebuah periode rekonstruksi yang panjang diproyeksikan
agar tedensi demokratis yang sudah tampak pada zaman Rebuplik Weimar dapat
dipupuk ndan dikembangkan menjadi kekuatan politik yang kompeten dan berhasil.
Sejak awal negara-negara yang berkuasa atas Jerman itu berusaha untuk
membersihkan berbagai jabatan public kedudukan berpengaruh yang terbukti Nazi.
Guru-guru dicurigai secara khusus karena lamanya Nazi memegang kontrol atas
sekolah dan perekrutan guru yang dapat dipercaya menjadi tugas utama. Buku-buku
sekolah harus ditulis ulang dan diperkenalkan urusan program studi baru. Selain
itu banyaknya gedung sekolah yang rusak menyebabkan masalah tempat dan
anak-anak nyaris mendekati kelaparan memerlukan program pemberian makanan
secara besaar-besaran yangv hanya dapat dilakukan oleh negara-negara yang
mendudki Jerman saat itu. yang akhirnya menyebabkan Jerman terbagi menjadi dua
bagian yakni Jerman Barat dan Jerman Timur sesuai dengan pendudukan
masing-masing negara yang berkuasa di sana. Sedangkan masalah pendidikan di
Jerman Barat lebih mengacu pada pendidikan terpadu, hal ini dibuktikan denga
menculnya kembali Grundschulen empat tahun wajib sekolah yang diikuti
oleh semua anak. Dan banyaknya inovasi yang dilakukan akhirnya empat tahun menjadi
enam tahun wajib belajar.
Label:
PENDIDIKAN
11:55
Pendidikan dan politik
Pendidikan
dan politik
A. Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis,
dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini
menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin
dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta
raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan
dalam kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara
agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara
nasional ini.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri
dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama
dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah
hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan
membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi
dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di
media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi
benar-benar gila. gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya.
Bukan hanya rakyat jelata yang terserang
penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai.
Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya
digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik.
Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan
sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan
kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam
kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu
mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung
dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan
politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.
B. Hubungan Antara Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen
penting dalam sistem sosial disetiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisahkan, yang satu
sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu
dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama
lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan
berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat dinegara tersebut.
Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa
dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan
erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan
tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan
Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe
(1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan
dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan
timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of
the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor
alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua
elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju
ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga
mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah
sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah
pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Hubungan erat antara pendidikan dengan
politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan
pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah
pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan
subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa
berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam,
pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan
pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz
(1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan
tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat
berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan
syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui
pendidikan.
Meskipun hubungan atau ketrekaitan
antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui
dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut
dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis
elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar
pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan.
Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan
untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik
penguasa.
Namun, apapun latar belakang dan tujuan
kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan
politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses
tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan dan
pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan,
pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan
otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat
dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat,
maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua
perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.
Di Indonesia, kepedulian terhadap
hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public,
walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Dari beberapa pemikiran yang
berkembang, salah satunya adalah Muchtar
Buchori dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, Adanya kesadaran
tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya
kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan
politik. Ketiga, adanya ksadaran akan pentingnya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman
yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan
(Civic Education). Ungkapan tersebut khususnya menggambarkan suatu keyakianan
terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik.
C. Fungsi
Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik
bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional.
Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan
signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi
politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu,
terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan
tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Berbagai institusi pendidikan yang ada
dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk
sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran
terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada
kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang,
pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan
politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan
menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum
content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain
washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar
sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada
masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang dikeluarkan juga untuk menunjang
daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32
tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu
berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan
kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada
beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek
perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem
pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun
pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam
perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik
disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama
hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi
pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat
lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk
mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka.
Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi
yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
D. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak
menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak
mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi
bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya
dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output
yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang
sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan
yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa
suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar
untuk bidang pendidikan.
Semua itu dilakukan dalam rangka
membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah,
dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut,
banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program
pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di
banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada
akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol
ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan
intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi.
Kandungan (contet) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami
perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau
tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari
negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.
Ketika doktin-doktrin para penguasa
negara bersebrangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dala masyarakat,
maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesame
perangkat sekolah itu sendiri maupu antara perangkat seklah dengan peserta
didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peerta didik merambah ke luar
lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik social politik.
Persoalan ini memunculkan pertanyaan
sebagai berikut, Apakah msih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom
of education? Apakah control negara terhadap sekolah dapat dihilangkan?
Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme control?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep
kita tentang sekolah dan negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah
bagaimana meformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan system
pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat
pencerahan masyarakat.
E. Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu kajian yang relatif baru
dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang teklah mapan (established),
yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan
sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu
politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.
Namun, pengalaman panjang bangsa
Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa
pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat
dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang
berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di
negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan
berbagai persoalan kependidikan yang ada.
Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan
politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan
berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah
kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik
pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan
berkembang pesat.
F. Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
menurut Bray (1984, hal. 5)
desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi
wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan
sumber daya organisasi . Adapun menurut Burnett et al (19950), desentralisasi
pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan
sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua
dan komunitas.
Perubahan paradigma pendidikan nasional
dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas.
Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan
semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila
aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka
desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang
tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi
status de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini
diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk
dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan
fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental
dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam
sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah
pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar menjadi
status de facto sistem pendidikan nasional, maka desentralisasi yang
diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional.
Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi
yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang
memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan
kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di
tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat
Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat
bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun
politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu
seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat
akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk.
Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda
yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
G. Pendidikan
Dan Kepentingan Politik; Sekolah Sebagai Alat Politk
Orang Miskin Dilarang
Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public
melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan
menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat
dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami
proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi
negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan.
Pendidikan dimaknai
sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional,
pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada
lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta
keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh
data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena
ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain
yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan
kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi
mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan
kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa
membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu
direnungkan:
1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa
tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan
sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut.
Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan
merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan
dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak,
informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek
pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat
kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan
orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan
investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi
pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta
didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk
memajukan peradaban yang berkeadaban.
Jika sekolah masih
diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di
negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi.
Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari
pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari
keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
Sedangkan menurut Hari Sucahyo
dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan
telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum
tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam
sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang
yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang
pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan.
Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan
sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah
kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak
mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat
menduduki kursi panas selama mungkin.
H. Kesimpulan
Pendidikan dan politik merupakan elmen
yang penting dalam subuah negara, hubungan antara pendidikan dan politik tak
bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan
pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh politik, sedangkan polotik
posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini pendidikan dan
politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa bila
politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak,
demikian juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga
akan kena dampaknya.
Daftar
Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan,
dan Pembebasan, Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto. Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam,
Yogyakarta: AK Group
Nata,
Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________.
2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarrya.
Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu
Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono
Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman,
munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis
Madjid,Jakarta:LSAF .
PENDIDIKAN DAN POLITIK
Disusun Sebagai
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Oleh :
Arif
Sugianto
NIM.
07110014
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
2010