Home » » Agama sebagai dasar Psikoterapi*

Agama sebagai dasar Psikoterapi*

 Pengertian Psikologi
  Secara etimologis “psikologi” berasal dari bahasa yunani yaitu “psyche” artinya jiwa dan “logos” artinya ilmu. Dalam Bahasa Arab psikologi di sebut dengan ilmu ”Ilmu an-Nafsi” yang kemudian dikembangkan menjadi suatu ilmu dengan nama ”Nafsiologi”. Sedangka dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama ”Ilmu Jiwa”.

  Secara terminologi ( menurut istilah pengetahuannya ) Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan jiwa manusia, hakikatnya, asal usulnya, proses bekerjanya, dan akibat yang di timbulkannya. Psikologi dapat juga diartikan pula dengan ” Ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau tingkah laku manusia ”


Pengertian psikologi menurut para ahli:

1. Woodwoth dan Marquis mengemukakan bahwa psikologi adalah ” Psychology is the scientific study of the individual activities in relation to environment”


2. Atkinson dkk. ( 1991 ) mendefinisikan psikologi sebagai studi ilmiah mengenai proses prilaku dan proses mental. Definisi ini mencerminkan perhatian psikologi terhadap studi yang objektif mengenai prilaku yang dapat diamati dan juga mengakui pentingnya pemahaman proses mental yang tidak dapat diamati secara lansung.


3. Dr. Singgih Dirgagunarsa mengartikan psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.


4. Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa: psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.


5. Wilhelm Wundt, tokoh psikologi eksperimental, berpendapat bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dari dalam jiwa manusia, seperti penggunaan pancaindra, pikiran, perasaan ( feeling ), dan kehendak.


6. Knigh and Knigh mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari secara sistematis pengalaman dan tingkah laku manusia dan hewan, normal dan abnormal, individu dan sosial. 


  Dari pengertian diatas dapat kita lihat perbedaan pendapat para ahli mengenai psikologi. Namun dari definisi tersebut dapat kita lihat unsur-unsur:
 
1. Tingkah laku dan perbuatan


  Tingkah laku memilki arti yang lebih kongkrit bahkan lebih kongkrit dari jiwa manusia. Karena itu , tingkah laku lebih muda dipelajari dibanding jiwa manusia. Dan melalui tingkah laku kita dapat mengenali seseorang. Termasuk disini adalah tingkah laku terbuka dan tertutup. Terbuka misalnya tingkah laku yang dapat langsung diketahui melalui orang yang bersangkutan, contohnya berbicara, berlari, dan sebagainya. Tingkah laku tertutup adalah tingkah laku yang hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui alat-alat atau metode-metode khusus. Misalnya berpikir, menghayal, sedih, dll.


2. Manusia


  Makin lama objek material makin mengarah pada manusia. Karena manusialah yang paling berkepentingan dalam ilmu ini. Manusia membutuhkn ilmu ini dari berbagai segi kehidupannya, di sekolah, di kantor, di rumah, dll.


3. Lingkungan


  Yaitu tempat manusia hidup, menyesuaikan dirinya. Berbeda dengan mahkluk lainnya di dunia ini, manusia tidak diciptakan berbulu tebal untuk melawan udara dingin, tidak bertaring kuat untuk membunuh mangsanya. Tapi manusia memiliki alat yang paling tangguh yang menyebabkan ia dapat bertahan hidup yaitu akal yang dikaruniakan Allah kepadanya.

B. Sejarah Singkat Psikologi


  Jiwa manusia ( ”al-nafs” dalam bahasa agamanya ) sejak zaman yunani telah menjadi topik pembahasan para filosof, namun psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri baru dimulai pada tahun 1879 ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama kali di kota Leipzig, Jerman.


  Sejarah perkembangan psikologi dapat dibagi menjadi dua periode yaitu sebelum dan sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri.


 Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para ahli ilmu filsafat dan ilmu fasal ( Phisiologi ), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari ilmu tersebut. Para ahli ilmu filsafat kuno seperti Plato ( 427-347 SM ), Aristoteles ( 384-322 SM ) dan Socrates ( 469-399 SM ), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencari hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Pada waktu itu belum ada pembuktian secara empiris, melainkan berbagai teori dikemukakan berdasarkan argumentasi belaka. Psikologi pada waktu itu benar-benar merupakan bagian dari ilmu filsafat dalam artian yang semurni-murninya.


Psikologi telah dipelajari juga oleh para ilmuwan muslim pada abad pertengahan seperti Imam Al-Ghazali ( wafat 505 H ), Imam Fachrudin Ar- Raazi ( wafat 606 H ), Al- Junaidi Baghdadi ( wafat 298 H ), Al- ’Asyari ( wafat 324 H ). Pembahasan ilmu psikologis pada waktu itu merupakan bagian dari ilmu ushuluiddin dan ilmu tasawuf.


 Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang mandiri merupakan masa dimana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah , terlepas dari filsafat dan ilmu faal. Gejala kejiwaan dipelajari secara lebih sistematis dan objektif. Selain metode eksperimen digunakan pula metode introspeksi oleh Wilhelm Wundt. Gelar keserjanaannya adalah di bidang kedokteran dan hukum. Ia dikenal sebagai sosiolog dan filosuf dan orang yang pertama yang mengaku dirinya sebagai psikolog. Ia dianggap sebagai bapak psikolog, penyusun teori psikologi dan keragaman pemikiran-pemikiran baru. Psikologi mulai bercabang keberbagai aliran.
  
C. Berapa Istilah Psikoogi dalam Al-Quran


  Dalam Al-Quran ada beberapa kata kunci yang berbicara mengenai psikologi yaitu; al-nafs, al-ruh, af’idah, al qalb, al-aql, dan fitrah. Dari analisa terhadap kosa kata tersebut, secara maudu’i atau tematik akan diformulasikan sejumlah konsep-konsep psikologi dalam Al-Quran, selanjudnya digunakan sebagai dasar teori untuk menyusun psikologi Islami.


  Beberapa ayat yang mengandung istilah psikologi antara lain: An-nafs, sering diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan jiwa. Dari ayat dibawah ini, dapat pula kata nafs diterjemahkan dengan kata ” diri ” atau pribadi.


Dalam Al-Quran, kata al-nafs digunakan dalam berbagai bentuk dan makna. Kata al-nafs dijumpai dalam Al-Quran sebanyak 297 kali, masing-masing dalam bentuk mufrad (singular) sebanyak 140 kali, sedangkan dalam bentuk jamak terdapat dua versi, yaitu nufus dua kali. Dan anfus sebanyak 153 kali, dan dalam bentuk fi’il ada dua kali. Kata al-nafs dalam Al-Quran memiliki aneka makna, contoh ayat dalam Al-Quran yang mengandung kata al-nafs:


1. Surat Asy-Syam, 91: 7- !0 :


” Wa nafsiw wamaa saw-waahaa. Fa al-hamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa. Qad aflahaa man zakkaahaa. Waqad khaaba man dassaahaa.” ( Dan jiwa ( pribadi ) serta penyempurnaannya ( ciptaannya ). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu ( pribadinya ). Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya ).


2. An-Naazi’aat, 79:40-41: 

“ Wa-amma man khaafa maqaama rab-bihi wanahan nafsa ‘anil hawaa. Fain-naljannata hiyal ma’waa.” ( dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan jiwanya ( diri pribadinya ) dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya ).

3. Al-fushilat, 41:46 

“ Man ‘amila shaalihan falinafsihii, wa man ‘asaa’a fa’alaihaa, wamaa rabbuka bidlollaamil lil’abiid.” ( barang siapa yang mengerjakan amal saleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah tuhan menganiaya hamba-habanya ).

  Dari terjemahan ayat-ayat Al-Qurab mengenai ” nafs ” yang dapat berarti jiwa, pribadi dan diri sendiri, kita dapat mengadakan penggolongan jiwa atau pribadi menjadi tiga golongan, yiutu:


• Nafsu Al-Amarah, yaitu jiwa atau pribadi yang cenrung kepada kejahatan, cenrung mengikuti keinginan biologis, dorongan hewani dan hawa nafsu.


• Nafsu Al-Lawwamah, yaitu jiwa atau pribadi yang menyesali dirinya sendiri, karena ada konflik batin. Di satu pihak masih cenrung untuk mengikuti hawa- nafsu dan di sisi lain sudah ada kesadaran hati nuraninya untuk mengikuti tuntutan ilahi.


• Nafsu Al-muthmainnah, yaitu pribadi yang tenang karena senantiasa menjalankan perintah ilahi sesuai kemampuan dan meninggalkan larangannya, sehingga menjalankan hidup ini sesuai dengan fitrahnya dan mendapatkan keridhoan tuhannya.Ar-ruh, diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan kata roh. Kata ruh dalam Al-Quran di sebutkan sebanyak 25 kali, empat diantaranya lansung berkaitan dengan manusia. Beberapa ayat Al-Quran yang behubungan dengan roh:


1. Al-Isra, !7:85 ” Wa yas-aluunaka ’anirruuhi, qulir ruuhu min amri rabbii wa maa uutiitum minal ’ilmi illaa qaliilaa.” ( Dan mereka bertanya kepadamu ( Muhammad ) tentang ruh, jawablah: Ruh itu termasuk urusan tuhanku ).


2. At-tahrim, 66:12, ” Tanazzalul malaa-ikatu war ruuhu fiihaa bi iznii rabbihim minkulli amri.” ( Di malam itu turun para malaikat dan ruh dengan izin tuhn mereka untuk setiap urusan ).


 Af ’idah, diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengn hati, kata hati, hati nurani atau akal budi. Beberapa ayat Al-Quran yang mengandung kata Af’idah atau Fuad :
1. An-nahl, 16:78, ” Wallaahu akhrajakum min buthuuni ummahaatikum laa ta’lamuuna syaian waja’alalakumus syam’a wal abshaara wal af’idata, la’allakum tasykuruun.” ( Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati ( akal budi ) agar kamu bersyukur ).


2. Al-mu’minuun, 23:78, ” Wa huwal lazii ansyaa akumus sam’a wal abshaara wal af’idah, qaliilam maa tasykuruun.” ( Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur ).


Al-Qalb, 1:7, ” Khatamallaahu ’alaa quluubihim wa’alaa syam’ihim, wa’alaa abshaarihim ghisyaa watuu walahum ’azaabun ’azdhiim.” ( Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih ). Dalam Al-Quran kata al-qalb disebutkan sebanyak 122 kali yang tersebar dalam 45 surat dan 112 ayat, seperti kata-kata lainnya al-qalb digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda, baik dari segi kelompok ayat, objek, dan makna kata.Al-Aql. 

Al-baqarah, 1:44, ” Ata’ muruunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaaba, afalaa ta’ qiluun.” ( Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang kamu melupakan diri ( kewajibanmu) sendiri, padahal kamu membaca Al-kitab ( Taurat )? maka tidakkah kamu orang-orang yang berakal? ). Dalam Al-Quran memang tidak pernah digunakan kata ’aql dalam bentuk isim ( kata benda ). Selamanya digunakan dalam bentuk kata kerja. Seakan akan Al-Quran menjelaskan bahwa berpikir dengan akal adalah kerja dan proses yang terus menerus dan bukan hasil perbuatan. Kata-kata tersebut berbentuk ’aqala dalam satu ayat, ta’qiluun dalam 22 ayat, na’qilu dalam 1 ayat, ya’qilu dalam satu ayat, dan ya’qiluun dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar ke dalam 30 surat dan 49 ayat.


Al-fitrah. Ar-Rum, 30:30, ” fa ’akim wajhaka liddiini haniifan fithratallahil latii fatharan naasa ’alaihaa.” ( Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ( Allah ); (tetaplah di atas fitrah Allah) yang telah menciptakan fitrah). Sebenarnya secara tekstual fitrah hanya disebutkan sekali, yaitu dalam surat al-Rum/30:30, namun demikian masaih terdapat masih tedapat kata-kata lain yang memiliki akar kata atau asal kata yang sama dengan fitrah. Terdapat 6 bentuk kata yang memiliki asal kata yang sama dengan fitrah. Kata-kata itu tersebar dalam 19 surat dan 19 ayat. Bentuk kata tersebut adalah fatara sebanyak 18 kali, kata faatiru (a), (i), sebanyak enam kali, kata yatafattarna sebanyak 2 kali, dan kata infatarat, futur, munfatir, dan fitrah, masing-masing satu kali.

D. Manusia Menurut Al-Quran


  Siapakah sebenarnya manusia itu? Untuk apakah manusia itu hidup? Apakah arti atau makna hidup? Pertanyaan-pertanyaan tersebut semenjak zaman yunani, sampai sekarang, dan bahkan sampai masa selanjutnya tidak akan habis-habisnya dipertanyakan. Pertanyaan tersebut sedikit banyaknya pernah menyentuh setiap manusia yang berakal. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia selalu ingin mengenal dan merefleksikan dirinya, disadari atau tidak disadari. Walaupun pertanyaan tersebut bersifat filosofis, tetapi jawabannya akan menentukan derajat kemanusiaan seseorang, corak, tipe, dan watak kepribadiannya.


  Oleh karena itu manusia adalah makhluk yanmg mempunyai kepribadian, maka setiap manusia akan memiliki jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan tersebut. Bahkan kita bisa mengadakan penggolongan manusia terhadap jawabannya tersebut. Jawaban manusia tentang pengertian manusia dan tujuan hidupnya merupakan hal yang fundamental, suatu hal yang menentukan tingkah laku seseorang.
  Kaum materialisme ( Dahriyyin ) memberikan pengertian tentang manusia dan tujuan hidupnya berbeda dengan orang Hindu. Oleh karena itu tingkah laku orang Hindu berbeda dengan kaum materialisme. Orang kristen memiliki pandangan yang berbeda dengan orang confusianisme, sehingga prilaku mereka berbeda satu dengan yang lainnya.


  Pada literatur Barat terdapat beberapa pandangan falsafah mengenai hakikat manusia, antara lain yang cukup mempengaruhi perkembangan sains, ialah paham materialisme yang menganggap manusia sebagai materi. Prilaku manusia yang bersifat biologik, fsiologik, psikologik, dan rohaniah merupakan efek atau atau akibat perubahan materi pada tubuhnya. Pandangan ini menganggap manusia hanya terdiri dari tulang-belulang, daging, darah, syaraf, dan kimiawi tertentu, sehingga mereka mereka tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Pandangan lain menganggap hakikat manusia sebagai mahkluk biologis yang mempunyai energi kejiwaan atau instink atau dorongan hidup. Mereka memandang manusia adalah kelanjutan evolusi dari binatang tanpa adanya nilai kejiwaan dan unsur rohaniah. Mereka tidak mengakui adanya hati nurani, akal budi, af’idah, dan rohaniah.


  Pada abad ke-19, timbul pandangan yang menganggap manusia sebagaimana adanya ( existensial-humanistic ).” Yaitu sebagai mahkluk biologis yang mamiliki energi psikis dan sistem nilai, baik, berupa nilai biologis, sosial psikologis maupun nilai-nilai filosofis rohaniah”. Pada umumnya mereka menghubungkan pandangannya dengan kehidupan keagamaan.


  Dalam Al-Quran Allah menggambarkan penciptaan manusia sebagai mahkluk biologis, psikologis, dan rohaniah. antara lain yang terdapat dalam surat Al-Mu’minun, 23: 12,13,14,15,dan 16. ” Wa laqod khalaqnal insaana min sulaalatim minthin. Tsumma ja’alnaahu nuthfatan fii qaraarim makiin. Tsumma khalaqnan nuthfata ’alaqatan fakhalaqnal ’alaqtamudlghatan fakhalaqnal mudlghatan ’izhaaman fakasaunal ’izhaama lahman. Tsumma an sya’ naahu khalqan aakhara. Fatabaarakallahu ahsanul khaaliqiin. Tsumma innakum ba’da dzaalika lamaiyyituun. Tsumma innakum yaumal qiyaamati tub’atsuun.” ( Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati ( barasal ) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu nutfah ( sperma yang disimpan ) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nutfah itu kami jadikan ’alaqah ( segumpal darah menggantung ), lalu ’alaqah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging, kemudian kami jadikan dia mahkluk yang berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, kamu sekalian sesungguhnya pasti mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburan ) di hari kiamat ).


  Itulah proses kejadian manusia yang digambarkan oleh Al-Quran. Istilah nutfah dan ’alaqah dapat dimengerti lebih tepat ketika ilmu kimia dan genetika berkembang pesat. Kalau kita perhatikan ayat tadi betapa hebatnya Al-Quran mengemukakan fakta-fakta ilmiah yang tidak mungkin masyarakat Arab mengetahuinya pada waktu diturunkannya ayat tersebut, karena pada waktu itu ilmu kedokteran di tanah Arab boleh dikatakan tidak ada. Yang ada hanya ilmu pengobatan primitif. Pada ayat itu proses kejadian manusia dan perkembangannya lebih di gambarkan secara biologik dan psikologik ( nafsiah ) dan rohaniah.


  Dalam surat An-Nahl, 16:78 ” Wallahu akhrajakum mimbuthuni umahaatikum laa ta’lamuuna syai’au waja’ala lakumus syam’a wal abshaara wal ’afidah, la’allakum tasykuruun.” ( Dan Allah mngelurkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui satu apapun, dan Dia memberikan pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” ).


  Dan ayat itu diterangkan tentang perkembangan kehidupan jiwa manusia. Pada waktu dilahirkan, manusia tidak mengetahui sesuatu pun. Ia belum sadar akan dirinya. Ia belum tahu siapakah dirinya. Kemudian Allah memberinya panca indra, sehingga ia mengenal benda-benda dan materi sekitarnya. Ia diberi pendengaran, sehingga ia mengenal suara-suara. Suara ibunya, suara benda-benda lain dan bahkan suaranya sendiri. Sesudah itu diberi penglihatan. Setelah beberapa hari si bayi dilahirkan, baru penglihatannya mulai berfungsi. Dari penyelidik phisiologik dan psikologik, ternyata indra pendengaran berfungsi lebih dahulu daripada indra penglihatan. 


  Berfungsinya indra penglihatan, maka pengenalan benda-benda sekelilingnya dan dirinya sendiri lebih mantap lagi. Walaupun pengenalan ini lebih bersifat jasmaniah ( ketubuhan ). Si anak mulai mengenal dunia materi, dunia jasmaniah dan kebutuhan dirinya. Lalu Allah memberinya hati, mata hati, kesadaran atau akal budi yang disebut af’idah. Af’idah mengandung aspek kemauan, perasaan dan pemikiran. Pada masa balita anak baru mampu mengetahui dirinya dari aspek jasmaniahnya saja, namun pada masa puber anak sudah mengenal dirinya secara rohaniahnya, ini dilihat dari perkembangan mental anak yang sudah mengerti dengan perasaan, kemauan, pemikiran, dan kehidupan mental rohaniahnya berbeda dengan manusia lain.


  Perkembangan manusia akan mengalami kontinuitas dan terus berlanjut sampai manusia itu sendiri menemui ajalnya. Begitulah kekuasaan Allah dalam proses penciptaan manusia dari saripati yang berasal dari tanah, berkembang jadi nutfah ( sperma ), kemudian ’alaqah ( segumpal darah ), lalu segumpal daging, kemudian menjadi tulang-belulang, kemudian tulang-belulang itu di bungkus dengan daging, kemudian tulang-belulang itu Allah jadikan makhluk yang berbentuk lain (manusia). Lalu nikmat tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan.


  Berdasarkan uraian di atas dapat diutarakan bahwa konsepsi Al-Quran tentang manusia antara lain meliputi aspek jasmaniah, psikologik, dan rohaniah. Berbeda dengan konsepsi Barat ( sains ) yang hanya melihat dari segi empiriknya saja dari manusia dan kurang memperhatikan segi-segi kerohaniannya. Segi empiriknya penciptaan manusia diciptakan dari turab, tanah, lumpur hitam yang diberi bentuk dan akhirnya menjadi tanah yang kering seperti tembikar. Gambaran segi material manusia dalam Al-Quran itu tetap harus dijadikan pemikiran, perenungan dan penelitian bagi manusia yang berpikir sepanjang masa untuk membuktikan kebesaran tuhan. Segi psikologik manusia diuraikan dengan adanya af’idah dan nafs. Sedangkan segi rohaniah digambarkan dengan peniupan ruh-ilahi kepadanya.


  Manusia menjadi mahkluk jasmaniah-rohaniah sebagai satu kesatuan yang utuh, saling melengkapi ( komplementer ), serasi dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya ( fii ahsani taqwiim ). Antara jasmani, nafs, dan kerohanian bukanlah merupakan suatu substansi yang terpisah secara jelas, tapi merupakan suatu proses yang berproses secara berlanjut. Mulai dari penyatuan sperma dengan ovum sampai kepada ” insanul-kamil ”. Manusia berbeda dengan hewan yang tidak memiliki kehidupan rohaniah dan tidak sama dengan malaikat yang bukan materi.


  Prof. Dr. Maurice Buselle salah seorang ahli yang membahas penafsiran manusia terhadap ayat-ayat tentang penciptaan manusia semakin tepat dengan semakin berkembangnya ilmu sains dan tehknologi. Hal ini merupakan bukti bahwa Al-Quran adalah wahyu ilahi dan menjadi tantangan bagi ilmuwan muslim untuk mengadakan penilaian kembali ( revaluasi ) dan pembaharuan penafsiran Al-Quran sesuai zamannya.


E. Agama Sebagai Dasar Filosofis Psikoterapi


  Istilah psikoterapi ( psychotherapy ) mempunyai pengertian cukup banyak dan kabur, terutama karena istilah tersebut digunakan dalam berbagai bidang operasional ilmu empiris seperti psikiatri, psikologi, bimbingan dan penyuluhan ( Guidance and Counseling ), kerja sosial ( casework ), pendidikan dan ilmu agama. Secara harfiah psikoterapi berasal dari kata psyco = jiwa, dan therapy = penyembuhan. Psikoterapi sama dengan penyembuhn jiwa.


Menurut R. Wolberg. M.D. ( 1997 ) dalam buku The Tecnique of Psychoterapy menuliskan: ” psikoterapi adalah perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologis terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dimana seorang ahli secara sengaja menciptaka hubungan secara profesional dengan pasien ”, yang bertujuan ( 1 ) untuk menghilangkan atau mengubah gejala-gejala yang ada, (2) memperantarai ( perbaikan ) pola tingkah laku yang rusak, dan (3) meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan prilaku yang positif ”.


  Dari devinisi psikoterapi yang lengkap tersebut dapat dianalisis bagian-bagian penting yang dimaksud, yaitu:
 

1. Psikoterapi adalah perwatan


  Perawatan psikologis tidak mempedulikan beberapa lama waktu diperlukan atau berapa banyak usaha yang dilakukan, psikoterapi tetap merupakan suatu bentuk perawatan. Istilah seperti reeduksi ( Reeducation ), mendidik kembali, proses pemberian pertolongan dan bimbingan hanya merupakan sebagian uraian mengenai apa yang terjadi dalam proses perawatan, dan bukan merupakan proses keseluruhan proses penyembuhan yang sebenarnya.


2. Menggunakan alat-alat psikologi


  Psikoterapi adalah istilah umum yang mencakup keseluruhan metode dan teknik yang digunakan dalam rentangan spektrum perwatan psikologi. Rentangan ini mulai dari perencanaan hubungan antara pasien ( klien ) dan ( ahlinya ), sampai kepada pemberian nasehat atau indoktrinasi untuk mengubah sistem nilai, titik bantuan pada waktu proses kejiwaan berlansung, dan titik pembiasan ( conditioning ) yang berusaha untuk menentukan mekanisme syaraf.


3. Permasalahan yang berasal dri kehidupan emosional


  Permasalahan emosional sangat luas dan mempengaruhi setiap fase fungsi kehidupan manusia. Hal ini tampak pda setiap gangguan psikis individu dan kelihatan pada jasmaniahnya, hubungan pribadi atau dalam kehidupan masyarakat. Manifestasi penyakit manusia yang beragam itu masuk kedalam totalitas manusia. Manusia sebagai totalitas sering kali menyebabkan kesukaran dipandang secara analitis, dengan memisahkan aspek-aspeknya. Kerusakan jasmaniah, psikis, hubungan pribadi, jiwa raga ( psychophysiological ), hubungan sosial dan rohani sukar sekali dipisahkan.


4. Seorang ahli


  Dalam mencari ketenangan, individu biasanya mengadukan dirinya pada teman-teman, orang tua, atasan atau otoritas tertentu. Dalam pengaduan dan hubungan itu bisa saja timbul hambatan kejiwaan, pernyataan yang mengurangi kebahagiaan atau produktivitas seseorang, yaitu dengan adanya kekuatan dalam yang tidak mampu dikendalikan. Akibatnya, mengurangi keseimbangan dan akhirnya memerlukan penyembuhan atau pertolongan dari para ahli.


5. Secara sengaja menciptakan hubungan propesional


  Hubungan dan bentuk proses penyembuhan psikologis secara sengaja direncanakan dan diatur oleh ahlinya. Berbeda dengan hubungan nonpropesional yang merupakan bagian dari kehidupan sosial manusia, maka hubungan hubungan penyembuhan yang merupakan suatu kerja sama dimulai dan ditentukan dalam derajat propesional dengan tujuan penyembuhan tertentu.


6. Pasien ( klien )


  Wolberg lebih suka menamakan ” pasien ” bagi individu yang menerima perawatan psikoterapi. Beberapa psikolog lain lebih suka menyebut dengan ” klien ” untuk membedakan dengan pasien para dokter medis. Para ahli psikoterapi dapat melayani lebih dari seorang pasien sekaligus, seperti kasus perkawinan atau penyembuhan dalam kelompok ( group therapy ).


7. Tujuannya


• menhilangkan dan mengubah gejala penyakit mental
• memperantarai ( perbaikan ) tingkah laku yang rusak
• meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan prilaku positif


  Alasan agama dijadikan sebagai dasar filosofis psikoterapi adalah: pertama, agama melibatkan manusia seutuhnya. Agama berarti kehidupan ” dunia-dalam ” seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan dengan tujuan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Agama mengkaji manusia secara keseluruhan, sebagai totalitas dengan seutuhnya dan dengan cara yang sedalam-dalamnya. Manusia dengan segala aspek dan fungsi kejiwaan dikaji oleh agama.


Alasan mengapa agama melibatkan manusia seutuhnya;


1. Kehidupan atau pengalaman dunia-dalam seseorang tentang ketuhanan berhubungan erat dengan fungsi finalis ( motivasi dan emosi atau efektif dan konatif ).


2. Keimanan berhubungan erat dengan fungsi kognitif.


3. Peribadatan berhubungan erat denngan sikap dan fungsi motorik sebagai pelaksanaan dan realisasi kehidupan dunia seseorang.


  Fungsi kejiwaan manusia tidak dapat dipisahkan secara tegas, maka aspek agama juga merupakan satu kesatuan yang melekat pada manusia sebagai totalitas yang utuh. Fungsi kognitif tidak dapat dipisahkan dengan fungsi finalis dan motorik. Demikian pula dengan kehidupan dunia-dalam seseorang yang tidak dapat dipisahkan dengan keimanan dan peribadatan. Dalam psikoterapi yang dirawat dan disembuhkan adalah manusia sebagai totalitas, dikarenakan akibat ganguan emosional itu mengenai manusia seutuhnya. Demikian pula manusia yang dikenai agama adalah manusia sebagai totalitas.


  Tujuan psikoterapi adalah mengolah kepribadian klien agar mampu menyesuaikan dan merealisasikan dirinya sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Realisasi ini dapat diumpamakan seperti proses kelopak bunga yang merekah secara alamiah untuk merealisasikan tumbuhnya kembang. Para ahli membantu proses merekahnya kelopaknya, sehingga bunga tampak indah. Dalam psikoterapi, para ahli membantu proses realisasi dari proses fitrah kliennya menuju kepada kehidupan yang bermakna, berarti, dan berguna. Makna hidup yang tertinggi adalah pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Pencipta diri dan alam semesta.


F. Agama Islam dan Psikoterapi


  Dalam Islam keterpisahan antara agama dan ilmu pengetahuan tidaklah terjadi. agama dan ilmu pengetahuan adalah hal seiring dan tidaklah terpisah. Oleh karena itu bagi seorang muslim untuk membuat pemisahan antara pendekatan psikologis ( yang bebas agama ) sebagai ilmu pengetahuan dan agama sebagai teknik terapi adalah tidak mungkin. Pemisahan pendekatan agama dan psikoterapi dalam lima kelompok seperti dikemukakan oleh Pattison adalah tidak dapat dilakuakn menurut pandangan Islam. Adapun yang diajarkan agama Islam dalam kaitannya dengan terapi tentunya bisa diterangkan dari segi ilmu pengetahuan.


  Salah satu ayat Al-Quran yang berisikan aspek penyembuhan jiwa adalah yang terdapat dalam Surat Yunus ayat 57:


  ” Yaa Aiyuhan naasu qad jaa-atkum mau’izhatum mirrabbikum wa syifaa-ul limaa fish shuduur, wa hudaw warahmatul lilmu’miniin ”. ( Hai manusia, sesungguhnya telang datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit ( yang berada ) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman ).


  Ayat ini menunjukan bahwa agama itu sendiri berisikan aspek terapi bagi gangguan jiwa. Bukankah penderitaan bathin biasanya menyesakkan dada seperti yang tersirat dalam ayat diatas?
  Banyak sekali ayat Al-Quran yang sejalan dengan ayat diatas seperti dalam surat Fushilat ayat 44, Al-Isra ayat 82. Ayat-ayat ini memberi petunjuk bahwa agama mempunyai sifat terapeutik bagi gangguan kejiwaan. Namun bagaimanakah proses pelaksanaan terapeutik tersebut haruslah dilihat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
G. Puasa Sebagai Psikoterapi Terhadap Kesehatan Jiwa
  ” PUASA ( ramadhan ) termasuk salah satu aturan Allah yang wajib dijalankan oleh setiap muslim. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah : 183.
  ” Yaa aiyuhallazdiina aamanuu kutiba ’alaikumush shiyam kamaa kutiba ’alall lazdiina min qablikum la’allakum tattaquun”. ( Hai orang-orang yang beriman diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ).
  Dengan demikian pendekatan yang terlebih dahulu dikedepankan dalam memahami puasa adalah pendekatan keimanan. Dengan pendekatan ini, kita melakukan prilaku berpuasa didasarkan kepada wujud kehambaan kita kepada Allah bukan karena yang lainnya.
  Adanya pendekatan lain, misalnya melakukan puasa semata-mata hanya untuk mendapatkan kelansingan badan, adalah pendekatan yang kurang bersesuikan dengan islam. Boleh saja seseorang mengambil mamfaat dari puasa yang dilakukannya, tapi hal itu semata-mata merupakan hikmah dari puasa itu tadi. Hal itu perlu diungkapkan dalam tulisan ini dengan mengingat banyak orang yang melakukan puasa bukan semata-mata karena Allah sebagaimana ( a ) puasa yang dilakukan masyarakat pra-Islam di Indonesia yang dikenal dengan istilah-istilah punen, nyirik, prihatin, mutih, berpantangan dan sebagainya ( Abu Suud dalam Mawardi Muzamil & Eko Sabar Prihatin, 1986 ), atau ( b ) puasa yang setiap hari dilakukan lebih dari enam juta penduduk Amerika yang melakuakn puasa dengan maksud dan tujuan bermacam-macam:
1. Untuk mengurangi berat badan
2. Agar tampak lebih menarik secara fisik dan mental
3. Agar tampak lebih muda
4. Untuk menghemat uang
5. Untuk kesehatan sistem tubuh
6. Untuk membersihkan badan ( body out )
7. Untuk mengurangi tekanan darah dan menurunkan kolestrol
8. Untuk mengurangi kebiasaan merokok dan minuman keras
9. Untuk meningkatkan gairah seksual
10. Untuk memberi kesempatan tubuh menyembuhkan penyakit-penyakit lain
11. Untuk mengurangi ketegangan psikologis
12. Untuk mengurangi ketergantungan pada obat-obat bius dan kecanduan narkotika
13. Untuk membuat tidur lebih nyenyak, dll.
  Ditinjau dari segi ilmiah puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun rohani. Dua buah buku yang ditulis oleh Dr. Alan Cott, doktor ahli dari amerika tentang mamfaat puasa berjudul ” Fasting as a Way of Life ” dan ” Fasting the Ultimate Diet ”. Kalau pengertian puasa dalam Islam adalah menahan makan, minum, dan nafsu seks sejak matahari terbit hingga terbenam matahari, maka pengertin puasa menurut Cott agak beda. Dalam pengertian Cott, puasa masih boleh minum air. Dengan demikian, kita tentunya harus berhati-hati atas kesimpulan Cott.
  Dari kedua buku yang telah disebutkan di atas diceritakan antara lain bagaimana keterkaitan antara puasa dengan gangguan kejiwaan.
  Pertama, gangguan jiwa yang parah disembuhkan dengan berpuasa. Dr. Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Moskow ( The Moscow Psychiatric Institute ) mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, ia menterapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama tiga puluh hari ( persis puasa orang Islam dengan jumlah harinya ).
  Nicolayev mengadakan penelitian eksperimen itu dengan membagi subyeknya menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita pasiennya. Kelompok pertama diberi obat dengan ramuan obat-obatan. Sementara kelompok kedua diperintahkan berpuasa selama tiga puluh hari. Kedua kelompok tadi diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen itu diperoleh hasil yang cukup baik, yaitu banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medis tapi bisa disembuhkan dengan berpuasa. Setelah itu besar kemungkinan pasien untuk tidak kambuh lagi setelah enam tahun kemudian ternyata sangat tinggi. Lebih dari separuh pasien Cott sembuh total ( Cott, 1977, hal 74-75 ).
  Penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di rumah sakit Grace Square, New York juga menemukan hasil yang sejalan. Pasien sakit jiwa ternyata dapat disembuhkan dengan berpuasa.
  Kedua, adanya penelitian psikologi yang membuktikan bahwa puasa mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang. Hal ini dikaitkan dengan prestasi belajarnya. Orang yang rajin berpuasa dalam tugas-tugas kolektif memperoleh sekor yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpuasa.
  Disamping hasil penelitian di atas, puasa juga memberi pengaruh besar bagi penderita gangguan kejiwaan, seperti insomnia ( gangguan mental yang berhubungan dengan tidur ). Penderita penyakit ini sukar tidur namun dengan diberinya cara pengobatan dengan berpuasa, ternyata penyakit dapat dikurangi bahkan sembuh.
  Ada penelitian yang menarik perhatian, bahwa berpuasa dapat meningkatkan rasa percaya diri yang lebih tinggi, konsep diri yang optimis, yang merupakan adanya indikasi mental sehat dan tidak rapuh menghadapi tantangan hidup yang lebih besar.
  Dari segi sosial puasa pun memberikan sumbangan yang tidak kecil artinya. Hal ini bisa kita lihat dari kendala-kendala yang timbul di dunia. Di dunia ini ada ancaman kemiskinan yang mengancam negara di dunia ketiga khususnya. Hal ini menimbulkan ganguan mental bagi sebagian anggota masyarakat di negara-negara yang telah menikmati kemajuan di segala bidang. Menanggapi kemiskina di dunia ketiga, maka di Amerika muncul suatu gerakan yang bernama Hunger Projek. Gerakan ini lebih bersifat sosial, yaitu setiap satu minggu sekali atau sebulan sekali mereka tidak diperbolehkan makan. Uang yang seharusnya digunakan untuk makan digunakan unutk membantu mereka yang miskin.
  Apabila di kaitkan dengan dakwah Islam, maka dengan tujuan amal ibadah, puasa yang kita lakukan mempunyai aspek sosial juga, yaitu selama satui bulan kita menyisihkan uang yang biasanya kita belanjakan pada hal-hal yang tidak bermamfaat, Rp 500 misalnya. Dalam sebulan akan terkumpul Rp 15.000 untuk satu orang. Apabila umat islam yang berpuasa sebanyak 120 juta jiwa, berapa uang yang terkumpul dengan metode tersebut?
H. Shalat dan Kesehatan Jiwa
  Perana shalat bagi kesehatan jiwa telah banyak dikupas oleh beberapa penulis. Ada empat aspek terapeutik yang terdapat dalam shalat: aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, dan aspek kebersamaan ( Djamaludin Ancok, 1984 ).
  Aspek Olah Raga. Shalat adalah proses yang menuntut suatu aktivitas fisik. Kontraksi otot, tekanan dan ” massage ” pada bagian otot-otot tertentu dalam pelaksanaan shalat merupakan proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses penyembuhan jiwa adalah pelatihan relaksasi atau relaxation training ( lihat Kanfer & Goldstein, 1982 ). Lekrer melaporkan bahwa gerakan otot-otot pada training relaksasi tersebut dapat mengurangi kecemasan. Nizami mengatakan bahwa shalat yang berisi aktivitas yang menghasilkan bio-energi yang menghantarkan pelaku dalam situasi seimbang ( equilibrium ) antara jiwa dan raga ( Arif Wibisono Adi, 1985 ).
  Eugene Walker ( 1975 ) melaporkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa olah raga dapat mengurangi kecemasan jiwa. Kalau dikaitkan dengan shalat yang penuh dengan aktivitas fisik dan ruhani, khususnya shalat yang banyak rakaatnya ( shalat tahajud ), maka tidak dapat dipungkiri bahwa shalat pun akan dapat menghilangkan kecemasan. Hasil penelitian Arif Wibisono Adi ( 1985 ) menunjukan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan kecemasan. Makin rajin dan teratur seseorang melakukan shalat makin rendah tingkat kecemasannya.
  Aspek Meditasi. Shalat adalah proses yang menuntut konsentrasi yang dalam . setiapmuslim dituntut untuk melakukan hal tersebut, di dalam Bahasa Arab disebut ” khusuk ” . kekhusukan di dalam shalat tersebut disebut meditasi.
  Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh meditasi terhadap perbedaan kecemasan jiwa telah dilaporkan oleh Eugene Walker ( 1975 ). Kalau dikaitkan dengan shalat yang juga berisikan meditasi maka shalat pun akan dapat menghilangkan kecemasan tersebut.
  Dalam sejarah perjuangan para sahabat nabi juga melaporkan bahwa shalat tidak hanya menyembuhkan penyakit fisik. Cerita Saiyidina Ali bin Abi Thalib yang tertusuk anak panah dalam suatu perperangan, kemudian panahnya dicabut saat ia melakukan shalat. Ali mengatakn bahwa ia tidak merasa sakit saat anak panahnya dicabut. Hasil penemuan di bidang fisiologi yang disebut dengan ” gate system theory” ternyata mendukung peristiwa tersebut. Dalam ” gate syistem theory ” dikatakan rangsangan rasa sakit dapat dihambat datangnya ke otak dengan adanya proses perangsangan lain yang dalam kasus Sayidina Ali adalah kekhusukannya dalam shalat.
  Konsentrasi dalam sahlat akan membawa ransangan sistem syaraf yang lain untuk menutup timbulnya rasa sakit tersebut ke otak.
  Aspek Auto-sugesti. Bacaan dalam melaksanakan shalat adalah ucapan yang dipanjatkan kepada Allah. Di samping berisi pujian juga berisi permohonan atau do’a kepada Allah agar selamat dunia dan akhirat. Ditinjau dari teori hipnosis yang menjadi salah satu landasan dalam teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses Auto-sugesti. Mengatakan hal-hal yang baik terhadap diri sendiri adalah mensugesti diri agar memiliki sifat-sifat yang baik tersebut. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi jiwa ” self-hypnosis ”.
  Aspek Kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan oleh agama untuk melaksnakannya secara berjamaah. Dalam shalat berjamaah menurut salah satu hadis pahalanya lebih besar 27 kali lipat dibandingkan shalat sendirian. Ditinjau dari segi psikologis kebersamaan itu sendiri memberikan aspek terapeutik. Akhir-akhir ini berkembang terapi yang disebut terapi kelompok ( group therapy ) yang tujuan utamanya adalah menumbuhkan suasana kebersamaaan tadi. Beberapa para ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan ” keterasingan ” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu akan hilang.
Selain memberikan terapi yang bersifat kuratif, agama juga memiliki aspek preventif terhadap gangguan jiwa. Adanya perintah Allah untuk memelihara persaudaraan sesama manusia ( ukhuwah ), saling memenuhi kebutuhan, saling merasakan penderitaan dan kesenangan orang lain akan menjaga kemungkinan terjadinya gangguan jiwa.
Dalam bidang psikologis akhir-akhir ini berkembang psikologi komunitas ( community psychology ) yang tujuannya ialah melakukan usaha preventif bagi timbulnya gangguan jiwa dalam masyarakat. Rukun Islam seperti membaca dua kalimat shahadat, membayar zakat, naik haji juga memiliki aspek terapeutik, begitu juga dengan rukun iman yang salah satunya adalah penerimaan baik dan buruk datangnya dari Allah, akan membebaskan orang dari ketegangan jiwa. Pada dasarnya tujuan beberapa teknik psikoterapi terapi kognitif ( cognitive therapy ) dan ( insight therapy ) adalah menentukan seseorang untuk menerima kenyataan hidup yang sudah di atur oleh tuhan.
I. Psikoanalisis Tentang Prilaku Beragama
  Sigmound Freud, penggagas teori Psikoanalisis, menerangkan manusia dengan teori tentang struktur kepribadian manusia. Tiga komponen yang termasuk dalam struktur kepribadin adalah Id / libido, Ego dan Superego. Ketika manusia dilahirkan, ia hanya memiliki Id atau dorongan-dorongan yang minta dipuaskan. Dalam perkembangan selanjutnya tumbuhlah superego dalam diri manusia. Seperego adalah nilai-nilai luhur yang diterima individu dari lingkungannya. Antara Id dan Superego selalu terjadi pertentangn. Id mewakili kepentingan pribadi sedangkan Superego mewakili norma-norma masyarakat. Untuk mengatur mekanisma keduanya berperanlan Ego.
  Mencermati pandangan Freud, maka dapat dikatakan bahwa di dalam diri manusia tidak ada kebaikan yang bersifat alami atau biologis. Ketika lahir hanya mempunyai nafsu/libido/Id dan hati nurani. Hati nurani yang mewakili nilai-nilai kebaikan masyarakat. Karena itu, pandangan Freud dorongan beragama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan.
  Dalam kaitannya dengan prilaku beragama, Freud melihat bahwa agama itu adalah reaksi manusia itu sendiri terhadap ketakutannya. Dalam buku Totem and Toboo ( 1913 ), Freud mengatakan bahwa tuhan adalah refleksi dari Oedipus Confleks kebencian kepada ayah yang dimanifestasi sebagai ketakutan kepada tuhan.
  Dalam buku berjudul The Future of an Illusion ( 1927 ), Freud mengatakan bahwa agama adalah ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan ( wishfulfillment ). Manusia lari kepada agama disebabkan oleh ketidakberdayaannya menghadapi bencana ( seperti bencana alam, takut mati, keinginan agar manusia terbebaskan dari manusia lainnya ).
  Dari penjelasan diatas dapat diungkapkan bahwa orang melakukan prilaku beragama semata-mata adalah untuk menghindari diri dari bahaya dan mencari rasa aman bagi diri sendiri. Untuk keperluan itu manusia menciptakan tuhan dalam pikirannya. Tuhan yang diciptakannya itulah yang disembahnya. Sementara bagaimana ritual-ritual penyembahan sangat bergantung pada orang-orang terdahulu.
J. Behaviorisme Tentang Prilaku Beragama
  Behaviorisme ( Aliran Prilaku ), yang diilhami Jhon Broadus Watson dan digerakkan oleh B.F. Skinner, tidak memberi banyak memberi perhatian kepada agama atau perilaku beragama. Penganut Aliran Perilaku yang kental, bila mereka bersimpati pada agama, cendrung mengenyampingkan urusan agama dalam karya mereka. Pengandain mereka adalah bahwa perilaku beragama sebagaimana perilaku lain, merupakan akibat dari proses tanggapan psiologis manusia. Dengan demikian Behaviorisme tidak menyediakan ruang sedikitpun untuk mengkaji agama dari segi metafisisnya.
  Skinner, pentolan utama Beheviorisme, berpendapat bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan ( operannt conditioning ). Manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Segala tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu. Karya Skinner pada umumnya merupakan perluasan dari perkembangan dan penerapan konsep itu.
K. Teori Kebutuhan Berprestasi Versi Al-Quran
  Dalam Al-Quran, surat Al-Insyirah ( 94:1-8 ), Allah SWT. berfirman yang berbunyi:
  ” Alam nasyrah laka shadrak. Wa wadla’naa anka wizrak. Alladzii anqadha zahrak. Wa rafa’naa laka zikrak. Fa innama’al ’usri yusrak. Inna ma’al ’usri yusrak. Fa izaa faraghtaa fan shab. Wa ilaa rabbika farghab”. ( Bukankah kami telah melapangkan bagimu dadamu. Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu. Dan kami tinggalkan sebutan ( nama )-mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai ( dari satu urusan ), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap ).
  Wahyu diatas berisikan dasar-dasar teori kebutuhan berprestasi seperti yang dikemukakan oleh David C. McClelland. Ayat ketujuh ” Maka apabila kamu telah selesai ( dari satu urusan ) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, ” adalah inti dari teori yang dikemukakan McClelland, yaitu orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan prestasi. Namun ada perbedaan yang sangat pokok yang ditulis oleh McClelland dengan apa yang diwahyukan Allah dalam Al-Quran. Isi wahyu diatas tidak menyuruh seseorang untuk menjadikan beban bagi dirinya sendiri. Allah SWT menginginkan kemudahan bagi manusia. Manusia disuruh bekerja keras tapi setelah bekerja keras orang disuruh menikmati hasilnya dengan gembira dan bersyukur atas pemberian Allah SWT berbeda denagn teori McClelland yang bersifat egoistik-individualistuik keduniawian, teori berprestasi versi Al-Quran bersifat duniawi dan ukhrawi yang tidak berorientasi pada pengabdian pada diri sendiri, melainkan pengabdian kepada Allah SWT.
  Dalam Islam orang bekerja bukan untuk mencari pengakuan dari orang lain terhadap perestasi yang diraihnya,. Tetapi yang dicari dalam bekerja adalah pengakuan dari Allah. Hal ini dinyatakan pada ayat kedelapan dari surat Al-Insyirah yang disebut diatas ” Dan hendaknya hanya kepada tuhanmulah kamu berharap ”. Apa yang diharapkan manusia dari bekerja adalah pengakuan dari Allah, bukan pengakuan dari manusia. pencarian pengakuan dari manusia bukankah menimbulkan ketidakpuasan, bukankah manusia selalu merasa tidak puas? Ketidakpuasan inilah yang menjadi sumber ketegangan jiwa, yang dampak negatifnya banyak terlihat di negara-negara yang telah maju.
 
Daftar Pustaka
 Ahmad Fauzi, H. Drs.1997. Psikologi Umum, Cet. 1.CV. Bandung: Pustaka Setia
Tim Penyusun FIP-IKIP YOGYAKARTA.1995. Psikologi Umum Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan ( UPP ) IKIP Yogyakarta.
Abdul Aziz Ahyadi, Drs. H. 2005. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Cet. V. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Djamaludin Ancok, Dr. Dan Fuad Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baharuddin, Dr. 2004. Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar













Share this article :
 
Support : Creating Website | giea sugianto | Mas giea
Copyright © 2011. AKSETISME.com - All Rights Reserved
Template Created by gea creative Published by Mas giea
Proudly powered by 503