Home » , , » INSPIRASI KELAHIRAN GIE GIE BARU

INSPIRASI KELAHIRAN GIE GIE BARU

Judul Buku     : SOE HOK-GIE…sekali lagi 
Editor              : Rudy Badil, Luki Sutrisna Bekti,
                           Nessy Luntungan
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan          : Desember 2009
Tebal               :XXX+510 Halaman
Peresensi        : Arif Sugianto*

Mandalawangi-Pangrango
….“hidup adalah soal keberanian ,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa bisa kita menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua melampui batas2 hutanmu,
Melampui batas2 djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanianmu
Adalah peninggalan dari seorang cendekia muda bernama Soe Hok-gie, anak keempat dari lima saudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan lahir di Jakara tanggal 17 Desember 1942, Gie demikian disapa, sejak kecil amat suka membaca, mengarang, dan memelihara binatang. Keluarga Gie tinggal bilangan Kebon jeruk, di rumah yang sangat sederhana di pojok jalan, bertetangga dengan orang tua Teguh Karya. Saudara laki-lakinya, yang kita kenal dengan nama Arief Budiman.

Sejak SMP Gie gemar menulis catatan harian, termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar sikap kritis dan berani menghadapi ketidakadilan semakin besar, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Hal ini tentu saja membuat sang guru naik pitam.Dalam catatan hariannya , Gie menulis: ”Guru model gituan, yang tidak tahan kritik boleh masuk kranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalul benar. Dan murid bukan kerbau.”
Sikap kritisnya semakin berkembang ketika Gie mulai berani  mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Dicatatan harianya Gie menulis : “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga,’paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang malang.”
Gie melewatkan pendidikannya di SMA kanisius, dengan bacaan dan pelajaran yang diterimannya membentuk Gie menjadi pemuda yang percaya akan hakikat hidup, menjadikan dia pemberontak ketidakadilan. mnelalui pemikirannya bak air yang tek terbendung. Semua mengalir bebas tanpa penah menengok berbagai batasan, baik politik, social, ekonomi, maupun budaya, saat Gie masih remaja tangggung misalnya, di sudah menunjukkan independensi pikirannya melelui tulisannya yang cukup berani untuk pemuda seusiannya. Dia mengkritik kesenjangan ekonomi yang semakin lebar pada masa orde lama. Gie kesal dengan perilaku para pemimpin yang malah sibuk makan-makan dengan istri-istri cantiknya. Gie pun menyengat,”kita, generasi kita,, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah generasi yang akan memekmurkan Indonesia.” Gie memeng sosok yang keras baik dalam sikap intelektual dan politik,  sikap politiknya sangat jelas yaitu demokrasi, bagi Gie, demokrasi adalah sistem yang menjamin kebebasan dasar manusia tanpa sarat.oleh karena itu , demokrasi perlu dibela dari kekuatan-kekuatan ideologis yang berpotensi membatalkannya.
Kematangan politik Gie terbentuk sejak dia diterima sebagai mahasiswa sejarah di Fakultas Sastra  Universitas Indonesia pada akhir tahun 1961. waktu itu Fakultas Sastra adalah gudang pemikiran dan pergerakan politik yang sangat dinamis, sehingga menjadikan sosok Gie memasuki frase baru  dalam perkembangan intelektualnya, Gie semakin mengembangkan sikap kritis terhadap politisasi dan kooptisasi pikiran-pikiran akademis oleh kekuatan politik. Hal ini ditunjukkan dengan menyerang pidato pengukuhan guru besar dekan fakultas Sastra benama Sutjipto Wirjosuprapto, dalam pidatonya Sutjipto memuji-muji pikiran soekarno dan alpa mempertahankan intregritas dan indepindensi akademik sebagai seorang sivitas akademika. Bagi Gie universitas adalah benteng terakhir cendekia republik yang semestinya imun terhadap barbagai kooptasi politik.
Integritas independensi Gie sebagai cendekia ditunjukkan ketika mengambil posisi netral di tengah pertikaian politik kampus  antara GMNI dan HMI di FSUI. Dua organisasi mahasiswa dengan afiliansi politik yang berbeda itu  membuat Gie mengambil jalan yang berbeda. Gie bersama mahasiswa lainnya  mengambil jalan politik indepeenden, jalan polotik ini ditempuh guna untuk merebut kembali  kemuliaan universitas sebagai kawah candradimuka para cendekia.
Semasa mahasiswa hari-harinya  diisi dengan demo, termasuk rapat penting  disana-sini, tahun 1966 ketika mahasiswa tumpak kejalan melakukan aksi Tritura Gie termasuka dalam barisan paling depan, dan Gie termasuk tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa ABRI tahun 1966. Gie sendiri dalam Catatan Seorang Demonstran menulis soal demokrasi : “Malam itu aku tertidur di fakultas Psikologi, aku lelah sekali, lusa lebaran dan tahun baru yang ama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah tapal batu dari pada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dari  revolusi Indonesia dan batu tapal dari sejarah Indonesia. Karena yang dibela adalah keadilan dan perjuangan.”
Selain aktif melakukan demonstrasi Gie juga termasuk penulis produktif di media masa seperti di Kompas, Harian kami, Sinar harapan, mahasiswa Indonesia dan lain-lain. Untuk media kompas Jakob Oetama memberi kesaksian, “Soe termasuk penyumbang berita dan artikel yang rajin untuk Kompas, sambil menyerahkan tulisan  atau mengambil honorarium, kami sering berdiskusi, topik dan tema tentang apa saja, sebagian besar tentang perkembangan politik.” Dan dalam catatan hariannya Soe menulis: “pagi-pagi saya ke jakop untuk menyerahkan karangan saya. Ia bicara tentang The Philosophy of Moderation. Ia yakin bahwa semua relative…. Jakob juga bercerita soal sumantri yang minta agar Soe dikendalikan sedikit. Ia punya potensi, radikat tapi saying sekali kalau ia sampai terisolasi. Menurut Jakop kalau saya sampai terisolasi, saya akan berdiam diri atau kecewa dan akhirnya ke luar negri.”
Aktifitas organisasi Gie dilalui dengan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam UI (Mapala), organisasi ini dibangun berdasarkan aspirasi akan kehidupan yang sederhana, berani, bersahabat, dan mencintai alam. Gie dengan Mapalanya untuk mengasingkan diri dipuncak-puncak gunung sambil berfikir tentang semakin hancurnya perkembangan politiknya di tanah air. Sampai akhirnya dengan Mapalanya juga Soe mencapai ajalnya di puncak  tertinggi di tanah jawa itu.
 Kehadiran buku SOE HOK-GIE  kumpulan kesaksian teman, sahabat, simpatisan dari Gie dan juga beberapa tulisan yang termuat dimedia massa, merupakan bukti buku, pesta, dan cinta dialam bangsanya yang merupakan motto dari UI benar-benar tergambar jelas dalam buku ini. Dalam situaasi politik negri kita di penghujung tahun 2009 dan awal tahun 2010 terasa bergemuruh, dimulai dengan aksi terorisme yang mengebom dua hotel berbintang, hingga akhirnya mereka berhasil di buru Densus 88 dan “terbunuh ” satu per satu sampai puncak pimpinannya.
Pemilu 2009 digelar dan SBY-Budiono terpilih menjadi pemenang, disusul rebut-ribut jatah kursi cabinet SBY jiled-2, upacara fit and proper test pun bagai sinetron komedi tak lucu  yang tidak mengundang rasa ingin tahu. Sebab sudah bisa ditebak sebelumnya bahwa semuannya ada kepentingan “politik”.Gunjingan tentang KPK, Komisi Pemberantas Korupsi dan perkara lainya yang ramai, rakyat hanya dibikin heran menonton “Infotainmen persetruan” Antara  KPK-Kepolisian-Kejaksaan yang hamper  ditayangkan di media. Nampaknya persetruan “cicak” dan ”buaya” semakin seru saja hingga Presiden mengeluarkan kebijakannya. Selain itu munculnya kasus Prita, pencuri dua buah kakau, semangka masuk bui, dan semakin tidak rasionalnya kasus bank Century, bencana alam terjadi beruntun, dan negri tetangga sibuk mengutil seni-budaya kita.
Bila Gie masih hidup apa reaksinya? Apa pula tindakanya? Tetapi bukan menginginkan Gie hidup didunia lagi melainkan melalui buku ini bangsa mengharapkan kehadiran Gie-Gie baru yang akan bersuara lantang membela kebenaran. Jadi buku ini wajib dibaca pelajar, mahasiswa atau siapa pun yang ingin bangsa ini menjadi baik.

*Pengkaji dan peneliti pada Forum Studi Islam FORSIFA Universitas Muhammadiyah Malang
Share this article :
 
Support : Creating Website | giea sugianto | Mas giea
Copyright © 2011. AKSETISME.com - All Rights Reserved
Template Created by gea creative Published by Mas giea
Proudly powered by 503