Pendidikan
dan politik
A. Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis,
dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini
menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin
dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta
raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan
dalam kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara
agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara
nasional ini.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri
dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama
dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah
hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan
membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi
dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di
media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi
benar-benar gila. gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya.
Bukan hanya rakyat jelata yang terserang
penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai.
Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya
digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik.
Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan
sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan
kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam
kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu
mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung
dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan
politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.
B. Hubungan Antara Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen
penting dalam sistem sosial disetiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisahkan, yang satu
sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu
dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama
lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan
berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat dinegara tersebut.
Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa
dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan
erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan
tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan
Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe
(1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan
dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan
timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of
the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor
alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua
elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju
ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga
mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah
sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah
pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Hubungan erat antara pendidikan dengan
politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan
pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah
pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan
subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa
berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam,
pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan
pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz
(1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan
tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat
berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan
syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui
pendidikan.
Meskipun hubungan atau ketrekaitan
antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui
dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut
dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis
elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar
pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan.
Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan
untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik
penguasa.
Namun, apapun latar belakang dan tujuan
kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan
politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses
tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan dan
pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan,
pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan
otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat
dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat,
maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua
perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.
Di Indonesia, kepedulian terhadap
hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public,
walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Dari beberapa pemikiran yang
berkembang, salah satunya adalah Muchtar
Buchori dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, Adanya kesadaran
tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya
kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan
politik. Ketiga, adanya ksadaran akan pentingnya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman
yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan
(Civic Education). Ungkapan tersebut khususnya menggambarkan suatu keyakianan
terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik.
C. Fungsi
Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik
bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional.
Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan
signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi
politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu,
terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan
tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Berbagai institusi pendidikan yang ada
dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk
sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran
terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada
kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang,
pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan
politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan
menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum
content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain
washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar
sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada
masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang dikeluarkan juga untuk menunjang
daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32
tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu
berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan
kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada
beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek
perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem
pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun
pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam
perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik
disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama
hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi
pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat
lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk
mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka.
Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi
yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
D. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak
menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak
mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi
bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya
dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output
yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang
sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan
yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa
suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar
untuk bidang pendidikan.
Semua itu dilakukan dalam rangka
membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah,
dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut,
banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program
pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di
banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada
akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol
ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan
intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi.
Kandungan (contet) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami
perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau
tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari
negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.
Ketika doktin-doktrin para penguasa
negara bersebrangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dala masyarakat,
maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesame
perangkat sekolah itu sendiri maupu antara perangkat seklah dengan peserta
didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peerta didik merambah ke luar
lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik social politik.
Persoalan ini memunculkan pertanyaan
sebagai berikut, Apakah msih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom
of education? Apakah control negara terhadap sekolah dapat dihilangkan?
Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme control?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep
kita tentang sekolah dan negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah
bagaimana meformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan system
pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat
pencerahan masyarakat.
E. Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu kajian yang relatif baru
dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang teklah mapan (established),
yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan
sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu
politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.
Namun, pengalaman panjang bangsa
Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa
pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat
dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang
berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di
negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan
berbagai persoalan kependidikan yang ada.
Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan
politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan
berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah
kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik
pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan
berkembang pesat.
F. Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
menurut Bray (1984, hal. 5)
desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi
wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan
sumber daya organisasi . Adapun menurut Burnett et al (19950), desentralisasi
pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan
sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua
dan komunitas.
Perubahan paradigma pendidikan nasional
dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas.
Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan
semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila
aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka
desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang
tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi
status de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini
diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk
dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan
fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental
dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam
sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah
pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar menjadi
status de facto sistem pendidikan nasional, maka desentralisasi yang
diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional.
Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi
yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang
memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan
kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di
tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat
Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat
bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun
politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu
seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat
akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk.
Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda
yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
G. Pendidikan
Dan Kepentingan Politik; Sekolah Sebagai Alat Politk
Orang Miskin Dilarang
Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public
melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan
menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat
dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami
proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi
negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan.
Pendidikan dimaknai
sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional,
pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada
lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta
keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh
data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena
ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain
yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan
kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi
mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan
kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa
membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu
direnungkan:
1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa
tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan
sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut.
Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan
merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan
dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak,
informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek
pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat
kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan
orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan
investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi
pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta
didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk
memajukan peradaban yang berkeadaban.
Jika sekolah masih
diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di
negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi.
Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari
pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari
keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
Sedangkan menurut Hari Sucahyo
dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan
telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum
tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam
sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang
yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang
pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan.
Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan
sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah
kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak
mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat
menduduki kursi panas selama mungkin.
H. Kesimpulan
Pendidikan dan politik merupakan elmen
yang penting dalam subuah negara, hubungan antara pendidikan dan politik tak
bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan
pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh politik, sedangkan polotik
posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini pendidikan dan
politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa bila
politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak,
demikian juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga
akan kena dampaknya.
Daftar
Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan,
dan Pembebasan, Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto. Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam,
Yogyakarta: AK Group
Nata,
Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________.
2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarrya.
Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu
Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono
Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman,
munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis
Madjid,Jakarta:LSAF .
PENDIDIKAN DAN POLITIK
Disusun Sebagai
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Oleh :
Arif
Sugianto
NIM.
07110014
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
2010
+ komentar + 6 komentar
Yuk dan marilah Bersama UNTAN Membangun Negeri semakin berkualitas dan semakin merdeka. Amin dan Semangat!
kursus autocad
kursus vray
kursus revit
kursus sketchup
kursus lumion
cuci karpet
cuci karpet kantor
cuci springbed
cuci gorden
sewa mobil yogya
sewa mobil jogja
rental mobil jogja
sewa bus yogyakarta
rent car yogya
cincau hitam
supplier cincau hitam Dried mesons chinensis grass jelly