Komunitas fotografi mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Fotografi Mahasiswa (Forkom FM) Malang menyelenggarakan seminar kritik fotografi, (23/7) di Auditorium II UMM, diikuti 300 peserta dari berbagai kota di Indonesia seperti Malang, Jakarta, Solo, Porwokerto, Yogyakarta, Lampung, Surabaya. Pada kesempatan itu menghadirkan pakar fotografi, Seno Gumira.
Menurut ketua pelaksana Harris Kurniawan, kegiatan tersebut bertujuan untuk mempererat silaturahmi fotografi mahasiswa serta mengangkat fotografi mahasiswa agar tidak lagi dipandang sebelah mata oleh fotografi profesional. “Kita menunjukkan eksistensi fotografi mahasiswa kepada publik dan kita tidak kalah dengan fotografi profesional,” ungkap mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi tersebut.
Lebih lanjut, aktivis Jufoc itu menerangkan bahwa acara seminar itu merupakan rangkaian dari kegiatan tahunan Jambore Fotografi Mahasiswa ke-3 di Malang dengan tema kegiatan Malang Photo Festival 2010, berlangsung 20-25/7. “Diantara kegiatannya pameran foto, satu pekan fotografi memamerkan karya dari seniman Prancis, Ferante Feranti di Cofe Time. Talk Show, Workshop dan Klinik Fotografi yang diselenggarakan di Aula UIN Malang, dan terakhir Rally Foto,” jelas pria asal Gresik itu.
Seno Gumira dalam materinya menyampaikan tentang konstelasi budaya fotografi, menurutnya dua perkara dalam fotografi yang selalu diperbincangkan yaitu perkara teknologi dan seni fotografi, akan tetapi menurut pria ramah itu, saat ini sudah saatnya membincang tentang masalah sudut pandang, sejarah fotografi itu sendiri, sejarah sosial peranan fotografi. “Ketiga hal tersebut sangat perlu diperbincangkan, dan kalau terpaku pada dua perkara tadi sungguh membuat wacana fotografi terbatas,” papar pria asal Jakarta ini.
Selain itu, Seno demikian disapa mengajak peserta seminar untuk mendiskusikan terkait dengan dengan kritik fotografi diantarannya orisinil, berwarna sepia, dipajang memenuhi dinding, foto-foto mempertahankan klaim, implementasinya atas otensitasnya, masa lalu dilihat dalam cara baru dan komodifikasinnya, jenis dari citrannya, pertannyaan kompleks, bagaimana kejujuran disusun, dan bagaimana foto-foto dikerjakan untuk menggambarkan masa lalu.
Ketika ditanya peserta dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tentang kebebasan fotografi terkait dengan foto erotik yang mengarah pada pornografi, pria berambut panjang itu mengungkapkan tergantung pada tujuan pembuatan foto. ”Jadi yang membedakan apa foto itu mengarah pada foto erotik atau tidak adalah tujuan dibuatnya foto itu dan saya rasa kebebasan tergantung masyarakatnya,” jawabnya
Kesan peserta dalam seminar itu, seperti yang diungkapkan Rikky Efran, sangat penting sekali untuk mengembangkan kemampuan fotografi. “ Terkesan sekali dengan kegiatan ini semoga kedepannya bisa mengembangkan kemampuan fotografi bagi UKM kami Zoom Fotografer,” ungkap mahasiswa asal Unila itu.
Tidak jauh berbeda dengan Rikky, Andris Gunawan peserta asal UMY mengungkapkan selain mendapatkan transformasi ilmu dari pakar fotografi juga memperkuat persaudaraan antar komunitas fotografi mahasiswa, sedang Pierre peserta dari UM mengharapkan kegiatan seperti ini sering diadakan dan ditingkatkan lagi._M/Rif