Powered by Blogger.
Latest Post
Showing posts with label HUMANIORA. Show all posts
Showing posts with label HUMANIORA. Show all posts

Pendidikan dan politik

Pendidikan dan politik

A.  Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis, dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan dalam kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara nasional ini.

Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi benar-benar gila. gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. 

Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah meraih kejayaan itu.

Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.

B.     Hubungan Antara Politik dan Pendidikan

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisahkan, yang satu sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu  negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat dinegara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.

Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.

Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya. 

Selain itu, dalam sistem politik Islam, pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz (1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui pendidikan.

Meskipun hubungan atau ketrekaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik penguasa.

Namun, apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.

Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Dari beberapa pemikiran yang berkembang,  salah satunya adalah Muchtar Buchori dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, Adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya ksadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan (Civic Education). Ungkapan tersebut khususnya menggambarkan suatu keyakianan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik.

C.    Fungsi Politik Institusi Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.

Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.

Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu berpihak pada Soeharto.

Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.

Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.


D.    Kontrol Negara Terhadap Pendidikan

Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan.

Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi. Kandungan (contet) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.

Ketika doktin-doktrin para penguasa negara bersebrangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dala masyarakat, maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesame perangkat sekolah itu sendiri maupu antara perangkat seklah dengan peserta didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peerta didik merambah ke luar lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik social politik.

Persoalan ini memunculkan pertanyaan sebagai berikut, Apakah msih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of education? Apakah control negara terhadap sekolah dapat dihilangkan? Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme control? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep kita tentang sekolah dan negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah bagaimana meformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan system pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat pencerahan masyarakat.

E.     Kajian Politik Pendidikan

Sebagai suatu kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang teklah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.

Namun, pengalaman panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan berbagai persoalan kependidikan yang ada. 

Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan berkembang pesat.

F.     Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan

menurut Bray (1984, hal. 5) desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi . Adapun menurut Burnett et al (19950), desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.

Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.

Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.

Agar desentralisasi benar-benar menjadi status de facto sistem pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.

Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.

G.    Pendidikan Dan Kepentingan Politik; Sekolah Sebagai Alat Politk

Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. 

Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan. 

Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:  

1.      Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.

2.      Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.

Sedangkan menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin.

H.     Kesimpulan

Pendidikan dan politik merupakan elmen yang penting dalam subuah negara, hubungan antara pendidikan dan politik tak bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh politik, sedangkan polotik posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini pendidikan dan politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa bila politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak, demikian juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga akan kena dampaknya.






 Daftar Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan, Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto.  Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam, Yogyakarta: AK Group
Nata, Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________. 2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarrya.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman, munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis Madjid,Jakarta:LSAF .
















PENDIDIKAN DAN POLITIK

Disusun Sebagai Tugas  Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan

Oleh :
Arif Sugianto
NIM. 07110014








JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010











Ucapkan Selamat Natal Tidak Menjadikan Kita Murtad !

Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender), mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk menentukan khususnya Idul Fitri. Dengan berbagai alasan, ini bisa dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadhan.Tapi orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari raya ummat lain.

Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok.  Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.

Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.
* * * * *

Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.

Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.

Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.
Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).
Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas.

Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.

Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.
Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.

Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.

Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.

HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.
Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.

Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.
Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.

Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.
Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu  ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.

Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.

Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.
Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.

INSPIRASI KELAHIRAN GIE GIE BARU

Judul Buku     : SOE HOK-GIE…sekali lagi 
Editor              : Rudy Badil, Luki Sutrisna Bekti,
                           Nessy Luntungan
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan          : Desember 2009
Tebal               :XXX+510 Halaman
Peresensi        : Arif Sugianto*

Mandalawangi-Pangrango
….“hidup adalah soal keberanian ,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa bisa kita menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua melampui batas2 hutanmu,
Melampui batas2 djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanianmu
Adalah peninggalan dari seorang cendekia muda bernama Soe Hok-gie, anak keempat dari lima saudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan lahir di Jakara tanggal 17 Desember 1942, Gie demikian disapa, sejak kecil amat suka membaca, mengarang, dan memelihara binatang. Keluarga Gie tinggal bilangan Kebon jeruk, di rumah yang sangat sederhana di pojok jalan, bertetangga dengan orang tua Teguh Karya. Saudara laki-lakinya, yang kita kenal dengan nama Arief Budiman.

Sejak SMP Gie gemar menulis catatan harian, termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar sikap kritis dan berani menghadapi ketidakadilan semakin besar, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Hal ini tentu saja membuat sang guru naik pitam.Dalam catatan hariannya , Gie menulis: ”Guru model gituan, yang tidak tahan kritik boleh masuk kranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalul benar. Dan murid bukan kerbau.”
Sikap kritisnya semakin berkembang ketika Gie mulai berani  mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Dicatatan harianya Gie menulis : “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga,’paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang malang.”
Gie melewatkan pendidikannya di SMA kanisius, dengan bacaan dan pelajaran yang diterimannya membentuk Gie menjadi pemuda yang percaya akan hakikat hidup, menjadikan dia pemberontak ketidakadilan. mnelalui pemikirannya bak air yang tek terbendung. Semua mengalir bebas tanpa penah menengok berbagai batasan, baik politik, social, ekonomi, maupun budaya, saat Gie masih remaja tangggung misalnya, di sudah menunjukkan independensi pikirannya melelui tulisannya yang cukup berani untuk pemuda seusiannya. Dia mengkritik kesenjangan ekonomi yang semakin lebar pada masa orde lama. Gie kesal dengan perilaku para pemimpin yang malah sibuk makan-makan dengan istri-istri cantiknya. Gie pun menyengat,”kita, generasi kita,, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah generasi yang akan memekmurkan Indonesia.” Gie memeng sosok yang keras baik dalam sikap intelektual dan politik,  sikap politiknya sangat jelas yaitu demokrasi, bagi Gie, demokrasi adalah sistem yang menjamin kebebasan dasar manusia tanpa sarat.oleh karena itu , demokrasi perlu dibela dari kekuatan-kekuatan ideologis yang berpotensi membatalkannya.
Kematangan politik Gie terbentuk sejak dia diterima sebagai mahasiswa sejarah di Fakultas Sastra  Universitas Indonesia pada akhir tahun 1961. waktu itu Fakultas Sastra adalah gudang pemikiran dan pergerakan politik yang sangat dinamis, sehingga menjadikan sosok Gie memasuki frase baru  dalam perkembangan intelektualnya, Gie semakin mengembangkan sikap kritis terhadap politisasi dan kooptisasi pikiran-pikiran akademis oleh kekuatan politik. Hal ini ditunjukkan dengan menyerang pidato pengukuhan guru besar dekan fakultas Sastra benama Sutjipto Wirjosuprapto, dalam pidatonya Sutjipto memuji-muji pikiran soekarno dan alpa mempertahankan intregritas dan indepindensi akademik sebagai seorang sivitas akademika. Bagi Gie universitas adalah benteng terakhir cendekia republik yang semestinya imun terhadap barbagai kooptasi politik.
Integritas independensi Gie sebagai cendekia ditunjukkan ketika mengambil posisi netral di tengah pertikaian politik kampus  antara GMNI dan HMI di FSUI. Dua organisasi mahasiswa dengan afiliansi politik yang berbeda itu  membuat Gie mengambil jalan yang berbeda. Gie bersama mahasiswa lainnya  mengambil jalan politik indepeenden, jalan polotik ini ditempuh guna untuk merebut kembali  kemuliaan universitas sebagai kawah candradimuka para cendekia.
Semasa mahasiswa hari-harinya  diisi dengan demo, termasuk rapat penting  disana-sini, tahun 1966 ketika mahasiswa tumpak kejalan melakukan aksi Tritura Gie termasuka dalam barisan paling depan, dan Gie termasuk tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa ABRI tahun 1966. Gie sendiri dalam Catatan Seorang Demonstran menulis soal demokrasi : “Malam itu aku tertidur di fakultas Psikologi, aku lelah sekali, lusa lebaran dan tahun baru yang ama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah tapal batu dari pada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dari  revolusi Indonesia dan batu tapal dari sejarah Indonesia. Karena yang dibela adalah keadilan dan perjuangan.”
Selain aktif melakukan demonstrasi Gie juga termasuk penulis produktif di media masa seperti di Kompas, Harian kami, Sinar harapan, mahasiswa Indonesia dan lain-lain. Untuk media kompas Jakob Oetama memberi kesaksian, “Soe termasuk penyumbang berita dan artikel yang rajin untuk Kompas, sambil menyerahkan tulisan  atau mengambil honorarium, kami sering berdiskusi, topik dan tema tentang apa saja, sebagian besar tentang perkembangan politik.” Dan dalam catatan hariannya Soe menulis: “pagi-pagi saya ke jakop untuk menyerahkan karangan saya. Ia bicara tentang The Philosophy of Moderation. Ia yakin bahwa semua relative…. Jakob juga bercerita soal sumantri yang minta agar Soe dikendalikan sedikit. Ia punya potensi, radikat tapi saying sekali kalau ia sampai terisolasi. Menurut Jakop kalau saya sampai terisolasi, saya akan berdiam diri atau kecewa dan akhirnya ke luar negri.”
Aktifitas organisasi Gie dilalui dengan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam UI (Mapala), organisasi ini dibangun berdasarkan aspirasi akan kehidupan yang sederhana, berani, bersahabat, dan mencintai alam. Gie dengan Mapalanya untuk mengasingkan diri dipuncak-puncak gunung sambil berfikir tentang semakin hancurnya perkembangan politiknya di tanah air. Sampai akhirnya dengan Mapalanya juga Soe mencapai ajalnya di puncak  tertinggi di tanah jawa itu.
 Kehadiran buku SOE HOK-GIE  kumpulan kesaksian teman, sahabat, simpatisan dari Gie dan juga beberapa tulisan yang termuat dimedia massa, merupakan bukti buku, pesta, dan cinta dialam bangsanya yang merupakan motto dari UI benar-benar tergambar jelas dalam buku ini. Dalam situaasi politik negri kita di penghujung tahun 2009 dan awal tahun 2010 terasa bergemuruh, dimulai dengan aksi terorisme yang mengebom dua hotel berbintang, hingga akhirnya mereka berhasil di buru Densus 88 dan “terbunuh ” satu per satu sampai puncak pimpinannya.
Pemilu 2009 digelar dan SBY-Budiono terpilih menjadi pemenang, disusul rebut-ribut jatah kursi cabinet SBY jiled-2, upacara fit and proper test pun bagai sinetron komedi tak lucu  yang tidak mengundang rasa ingin tahu. Sebab sudah bisa ditebak sebelumnya bahwa semuannya ada kepentingan “politik”.Gunjingan tentang KPK, Komisi Pemberantas Korupsi dan perkara lainya yang ramai, rakyat hanya dibikin heran menonton “Infotainmen persetruan” Antara  KPK-Kepolisian-Kejaksaan yang hamper  ditayangkan di media. Nampaknya persetruan “cicak” dan ”buaya” semakin seru saja hingga Presiden mengeluarkan kebijakannya. Selain itu munculnya kasus Prita, pencuri dua buah kakau, semangka masuk bui, dan semakin tidak rasionalnya kasus bank Century, bencana alam terjadi beruntun, dan negri tetangga sibuk mengutil seni-budaya kita.
Bila Gie masih hidup apa reaksinya? Apa pula tindakanya? Tetapi bukan menginginkan Gie hidup didunia lagi melainkan melalui buku ini bangsa mengharapkan kehadiran Gie-Gie baru yang akan bersuara lantang membela kebenaran. Jadi buku ini wajib dibaca pelajar, mahasiswa atau siapa pun yang ingin bangsa ini menjadi baik.

*Pengkaji dan peneliti pada Forum Studi Islam FORSIFA Universitas Muhammadiyah Malang

Books by Syed Muhammad Naquib al Attas*


As a forward -minded , Syed Muhammad Naquib al Attas in the middle of busy not forget to work . al Attas including prolific figures in writing , his orientation covering various scientific disciplines , such as theology , mysticism , philosophy , Islamic education , and literature . In the period 1959-1995 alone ( as far as the researchers are able to track ) al Attas has produced as much writing 26 books and monographs , both in English and Malay language , of these works were translated into various languages ​​, such as Arabic , Persian , Turkish , Urdu , Malay , Indonesian , French , Germany , Russia , Bosnia , Japan , India , Korea and Albania .The first work of al Attas is a book about a series ruba , Äôiyat , both of them are books that are now becoming classics Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays , published in Sociology of Advanced Research Institute Malaysia in 1963 . Some valuable books such Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays then in 1959 the government of Canada through the Canada Council Fellewship , gave him a scholarship for 3 years to al Attas , starting from the year 1960 in the Institute of Islamic Studies, McGill University , Montreal established Cantwel Wilfred Smith .Other works titled The Mysticism of Hamzah Fanshuri , published by the University of Malaya Press , Kuala Lumpur in 1970 . The Mysticism of Hamzah Fanshuri a doctoral dissertation to earn a Ph.D. , the book consists of two volumes and is one of the important academic works and comprehensively about the Sufi Hamzah Fanshuri which is the largest and most controversial in the Malay world .


Then book called A Raniri and the 17th centure Wujudiyyah of Acheh , published Monograph of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society , in Singapore , in 1966 , and the book A Raniri Wujudiyyah of 17th centure Acheh is a book about Raniri peel out . The fourth book entitled The Origin of the Malay poem , which was published by DBP in Kuala Lumpur in 1968 . This book contains a collection of poems Malay . At the same publisher al Attas also published a book titled Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay - Indonesian Archipelago , in 1986 .


Concluding his seventh book Postcript to the Origin of the Malay Sya , Äôir , published by DBP , Kuala Lumpur in 1971 . Another book entitled The Correct Date of the Terengganu Inscription , published by the Museum Department , Kuala Lumpur , 1972 . The book had been translated into Russian and French titled Malay Islamic History and Culture , published by the University Kebangsaan Malaysia , Kuala Lumpur , in 1972 . Books Islamic History and Culture Malay is also present in Indonesian version . Proceedings book for the Muslims , in the form of monographs that have not been published , this book consists of 186 pages . Based on a reliable source for Muslims Proceedings monographs were written between February to March in 1973 . Then in 2001 the book was published in Kuala Lumpur by ISTAC .


Further work entitled Comments on the re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation , published by the Department Musem , Kuala Lumpur , in 1975 . After writing a book entitled Comments on the Re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation of al Attas year later in 1976 published a book entitled Islah back the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , the publisher Force Belia Islam Malaysia ( ABIM ) , Kuala Lumpur , 1976 .


Two years later the book was also launched with the title of al Attas abundance of Religious and Moral Principle , the publisher ABIM , Kuala Lumpur . In 1977 . The Indonesian version of the book while the Malay version entitled Islah the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , as suggested earlier researchers . Ingredients in the book Religion and Moral Principles , Al - Attas said that morality is a disciplined body , soul and spirit which confirms the introduction and recognition of the proper position on the relationship with the potential physical , intellectual and ruhaniyah . Broadly speaking, the contents of this book on the concept of morality for a Muslim .


Later books on Islam and Islamic thought called Secularism , published by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1978 . Islam and Secularism book has been translated into Malay , Indian , Persian , Urdu , Indonesian , Turkish , Arabic , and Russian . The contents of the book Islam and Secularism are talking about the issue of Islam and the West , according to al- Attas western knowledge has brought confusion and skepticism . West has raised the estimate to peraguan and scientific degrees in terms of methodology . Western civilization also looked skepticism as a means of epistemological pretty good and privileged to pursue the truth . Western knowledge has also brought chaos to the three kingdoms of nature is animal , vegetable and mineral , the snippet glimpse of the book Islam and Secularism .


Then book about education entitled the Aims and objectives of Islamic Education : Islamic Education Series , published by the King Abdul Aziz University , London , in 1979 . The book was translated into Turkish , it talked about the basic structure of Islamic education , the book Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Education Series also listed in chapter four of the book Islam and Secularism . Other books on education entitled The Concept of Education in Islam , issued by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1980 . The book was translated into Indonesian , Persian , and Arabic . The contents of the book talking about the concept of Islamic education includes how education was formulated , the notion of education , educational goals , hakaikat education , curriculum and other sebagainnya . Book Aims and objectives of the Islamic Education : Islamic Education Series and The Concept of Education in Islam in this study by the researcher used as a primary source .


In addition to the books mentioned above there are ten more books produced by al- Attas , diantarannya : Islam , Secularism , and the Philosophy of the Future , Mansell , published in London , and New York , in 1985 , Commentary On the Hujjat al- Siddiq of Nur al- Din al Raniri , published on the initiative of the ministry of culture , Kuala Lumpur , in 1986 , The Oldest Known Malay Manuscript A 16th Century Malay then translated in over titled The A , Äôqoid of al Nafasi , by the Department. Publishing University Malaya , Kuala Lumpur , in 1990 , Islam and the Philosophy of Science , published by ISTAC , Kuala Lumpur , in 1989 and translated into Indonesian , Bosnian , Persian , and Turkish , The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , the Intuition of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , on Quiddityand Essence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , The Meaning and Experience of happiness in Islam , ISTAC , Kuala Lumpur , 1993 , The Degrees of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1994 . And the last book entitled Prolegomena to the resulting Metaphysicsof Islam : an Exposition of the Fundamental Elements of the Word View of Islam , with the publisher ISTAC , Kuala Lumpur , in 1995 .




please email for further work to arief_giea503@yahoo.com ....
 * by Arif sugianto
 
Support : Creating Website | giea sugianto | Mas giea
Copyright © 2011. AKSETISME.com - All Rights Reserved
Template Created by gea creative Published by Mas giea
Proudly powered by 503