Latest Post
Showing posts with label HUMANIORA. Show all posts
Showing posts with label HUMANIORA. Show all posts
11:55
Pendidikan
dan politik
Pendidikan dan politik

A. Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis,
dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini
menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin
dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta
raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan
dalam kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara
agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara
nasional ini.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri
dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama
dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah
hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan
membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi
dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di
media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi
benar-benar gila. gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya.
Bukan hanya rakyat jelata yang terserang
penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai.
Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya
digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik.
Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan
sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan
kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam
kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu
mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung
dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan
politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.
B. Hubungan Antara Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen
penting dalam sistem sosial disetiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisahkan, yang satu
sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu
dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama
lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan
berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat dinegara tersebut.
Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa
dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan
erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan
tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan
Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe
(1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan
dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan
timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of
the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor
alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua
elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju
ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga
mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah
sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah
pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Hubungan erat antara pendidikan dengan
politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan
pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah
pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan
subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa
berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam sistem politik Islam,
pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan
pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz
(1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan
tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat
berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan
syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui
pendidikan.
Meskipun hubungan atau ketrekaitan
antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui
dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut
dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis
elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar
pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan.
Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan
untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik
penguasa.
Namun, apapun latar belakang dan tujuan
kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan
politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses
tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan dan
pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan,
pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan
otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat
dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat,
maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua
perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.
Di Indonesia, kepedulian terhadap
hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public,
walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Dari beberapa pemikiran yang
berkembang, salah satunya adalah Muchtar
Buchori dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, Adanya kesadaran
tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya
kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan
politik. Ketiga, adanya ksadaran akan pentingnya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman
yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan
(Civic Education). Ungkapan tersebut khususnya menggambarkan suatu keyakianan
terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik.
C. Fungsi
Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik
bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional.
Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan
signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi
politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu,
terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan
tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.
Berbagai institusi pendidikan yang ada
dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk
sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran
terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada
kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang,
pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan
politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan
menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum
content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain
washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar
sejalan dengan doktin komunisme.
Di Indonesia, hal serupa terjadi pada
masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang dikeluarkan juga untuk menunjang
daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32
tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu
berpihak pada Soeharto.
Era reformasi yang ditandai dengan
kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada
beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek
perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem
pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun
pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam
perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik
disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama
hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi
pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat
lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk
mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka.
Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi
yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
D. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak
menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak
mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi
bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya
dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output
yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang
sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan
yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa
suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar
untuk bidang pendidikan.
Semua itu dilakukan dalam rangka
membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah,
dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut,
banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program
pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di
banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada
akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol
ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan
intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi.
Kandungan (contet) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami
perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau
tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari
negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.
Ketika doktin-doktrin para penguasa
negara bersebrangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dala masyarakat,
maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesame
perangkat sekolah itu sendiri maupu antara perangkat seklah dengan peserta
didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peerta didik merambah ke luar
lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik social politik.
Persoalan ini memunculkan pertanyaan
sebagai berikut, Apakah msih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom
of education? Apakah control negara terhadap sekolah dapat dihilangkan?
Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme control?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep
kita tentang sekolah dan negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah
bagaimana meformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan system
pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat
pencerahan masyarakat.
E. Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu kajian yang relatif baru
dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang teklah mapan (established),
yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan
sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu
politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.
Namun, pengalaman panjang bangsa
Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa
pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat
dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang
berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di
negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan
berbagai persoalan kependidikan yang ada.
Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan
politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan
berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah
kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik
pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan
berkembang pesat.
F. Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
menurut Bray (1984, hal. 5)
desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi
wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan
sumber daya organisasi . Adapun menurut Burnett et al (19950), desentralisasi
pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan
sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua
dan komunitas.
Perubahan paradigma pendidikan nasional
dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas.
Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan
semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila
aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka
desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang
tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi
status de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini
diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk
dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan
fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental
dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam
sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah
pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar menjadi
status de facto sistem pendidikan nasional, maka desentralisasi yang
diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional.
Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi
yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang
memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan
kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di
tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat
Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat
bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun
politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu
seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat
akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk.
Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda
yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.
G. Pendidikan
Dan Kepentingan Politik; Sekolah Sebagai Alat Politk
Orang Miskin Dilarang
Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public
melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan
menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat
dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami
proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi
negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan.
Pendidikan dimaknai
sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional,
pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada
lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta
keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh
data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena
ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain
yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan
kemanusiaan.
Sekolah bukan lagi
mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan
kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa
membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu
direnungkan:
1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa
tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan
sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut.
Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan
merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan
dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak,
informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek
pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat
kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan
orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan
investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi
pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta
didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk
memajukan peradaban yang berkeadaban.
Jika sekolah masih
diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di
negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi.
Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari
pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari
keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
Sedangkan menurut Hari Sucahyo
dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan
telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum
tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam
sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang
yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang
pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan.
Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan
sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah
kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak
mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat
menduduki kursi panas selama mungkin.
H. Kesimpulan
Pendidikan dan politik merupakan elmen
yang penting dalam subuah negara, hubungan antara pendidikan dan politik tak
bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan
pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh politik, sedangkan polotik
posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini pendidikan dan
politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa bila
politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak,
demikian juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga
akan kena dampaknya.
Daftar
Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan,
dan Pembebasan, Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto. Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam,
Yogyakarta: AK Group
Nata,
Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________.
2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarrya.
Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu
Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono
Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan,
Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman,
munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis
Madjid,Jakarta:LSAF .
PENDIDIKAN DAN POLITIK
Disusun Sebagai
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Oleh :
Arif
Sugianto
NIM.
07110014

JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
2010
11:43
Ucapkan Selamat Natal Tidak Menjadikan Kita Murtad !
Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia
suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode
ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender),
mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk
menentukan khususnya Idul Fitri. Dengan berbagai alasan, ini bisa
dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam
yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadhan.Tapi
orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari
raya ummat lain.
Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok. Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.
Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.
* * * * *
Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.
Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.
Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.
Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).
Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas.
Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.
Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.
Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.
Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.
Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.
HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.
Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.
Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.
Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.
Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.
Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.
Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.
Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.
Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.
Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok. Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.
Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.
* * * * *
Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.
Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.
Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.
Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).
Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas.
Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.
Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.
Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.
Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.
Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.
HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.
Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.
Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.
Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.
Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.
Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.
Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.
Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.
Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.
Label:
Artikel Islam,
HUMANIORA
10:10
INSPIRASI KELAHIRAN GIE GIE BARU
Judul
Buku : SOE HOK-GIE…sekali lagi
Editor : Rudy Badil, Luki Sutrisna Bekti,
Nessy Luntungan
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Desember 2009
Mandalawangi-Pangrango
Editor : Rudy Badil, Luki Sutrisna Bekti,
Nessy Luntungan
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Desember 2009
Tebal :XXX+510 Halaman
Peresensi : Arif Sugianto*
Peresensi : Arif Sugianto*
….“hidup adalah soal keberanian ,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa bisa kita
menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua melampui batas2
hutanmu,
Melampui batas2 djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanianmu
Adalah peninggalan dari seorang cendekia muda bernama Soe Hok-gie, anak
keempat dari lima saudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan lahir di
Jakara tanggal 17 Desember 1942, Gie demikian disapa, sejak kecil amat suka
membaca, mengarang, dan memelihara binatang. Keluarga Gie tinggal bilangan
Kebon jeruk, di rumah yang sangat sederhana di pojok jalan, bertetangga dengan
orang tua Teguh Karya. Saudara laki-lakinya, yang kita kenal dengan nama Arief
Budiman.
Sejak SMP Gie gemar menulis catatan harian, termasuk surat-menyurat
dengan kawan dekatnya. Semakin besar sikap kritis dan berani menghadapi ketidakadilan
semakin besar, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu Gie
pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Hal ini tentu saja membuat sang guru naik
pitam.Dalam catatan
hariannya , Gie menulis: ”Guru model
gituan, yang tidak tahan kritik boleh masuk kranjang sampah. Guru bukan dewa
dan selalul benar. Dan murid bukan kerbau.”
Sikap kritisnya semakin berkembang ketika Gie mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya
menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah
mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada
pengemis itu. Dicatatan harianya Gie menulis : “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga,’paduka’ kita mungkin lagi
tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku
besertamu orang malang.”
Gie melewatkan pendidikannya di SMA kanisius, dengan bacaan dan pelajaran
yang diterimannya membentuk Gie menjadi pemuda yang percaya akan hakikat hidup,
menjadikan dia pemberontak ketidakadilan. mnelalui pemikirannya bak air yang
tek terbendung. Semua mengalir bebas tanpa penah menengok berbagai batasan,
baik politik, social, ekonomi, maupun budaya, saat Gie masih remaja tangggung
misalnya, di sudah menunjukkan independensi pikirannya melelui tulisannya yang
cukup berani untuk pemuda seusiannya. Dia mengkritik kesenjangan ekonomi yang
semakin lebar pada masa orde lama. Gie kesal dengan perilaku para pemimpin yang
malah sibuk makan-makan dengan istri-istri cantiknya. Gie pun menyengat,”kita, generasi kita,, ditugaskan untuk
memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah generasi yang akan memekmurkan Indonesia.”
Gie memeng sosok yang keras baik dalam sikap intelektual dan politik, sikap politiknya sangat jelas yaitu demokrasi,
bagi Gie, demokrasi adalah sistem yang menjamin kebebasan dasar manusia tanpa
sarat.oleh karena itu , demokrasi perlu dibela dari kekuatan-kekuatan ideologis
yang berpotensi membatalkannya.
Kematangan politik Gie terbentuk sejak dia diterima sebagai mahasiswa
sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada
akhir tahun 1961. waktu itu Fakultas Sastra adalah gudang pemikiran dan
pergerakan politik yang sangat dinamis, sehingga menjadikan sosok Gie memasuki
frase baru dalam perkembangan
intelektualnya, Gie semakin mengembangkan sikap kritis terhadap politisasi dan
kooptisasi pikiran-pikiran akademis oleh kekuatan politik. Hal ini ditunjukkan
dengan menyerang pidato pengukuhan guru besar dekan fakultas Sastra benama
Sutjipto Wirjosuprapto, dalam pidatonya Sutjipto memuji-muji pikiran soekarno
dan alpa mempertahankan intregritas dan indepindensi akademik sebagai seorang
sivitas akademika. Bagi Gie universitas adalah benteng terakhir cendekia republik
yang semestinya imun terhadap barbagai kooptasi politik.
Integritas independensi Gie sebagai cendekia ditunjukkan ketika mengambil
posisi netral di tengah pertikaian politik kampus antara GMNI dan HMI di FSUI. Dua organisasi
mahasiswa dengan afiliansi politik yang berbeda itu membuat Gie mengambil jalan yang berbeda. Gie
bersama mahasiswa lainnya mengambil
jalan politik indepeenden, jalan polotik ini ditempuh guna untuk merebut
kembali kemuliaan universitas sebagai
kawah candradimuka para cendekia.
Semasa mahasiswa hari-harinya
diisi dengan demo, termasuk rapat penting disana-sini, tahun 1966 ketika mahasiswa
tumpak kejalan melakukan aksi Tritura Gie termasuka dalam barisan paling depan,
dan Gie termasuk tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa ABRI tahun 1966. Gie
sendiri dalam Catatan Seorang Demonstran
menulis soal demokrasi : “Malam itu aku
tertidur di fakultas Psikologi, aku lelah sekali, lusa lebaran dan tahun baru
yang ama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap
hidup. Dia adalah tapal batu dari pada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu
tapal dari revolusi Indonesia dan batu tapal dari sejarah Indonesia.
Karena yang dibela adalah keadilan dan perjuangan.”
Selain aktif melakukan demonstrasi Gie juga termasuk penulis produktif di
media masa seperti di Kompas, Harian kami, Sinar harapan, mahasiswa Indonesia dan
lain-lain. Untuk media kompas Jakob Oetama memberi kesaksian, “Soe termasuk penyumbang berita dan artikel
yang rajin untuk Kompas, sambil menyerahkan tulisan atau mengambil honorarium, kami sering
berdiskusi, topik dan tema tentang apa saja, sebagian besar tentang
perkembangan politik.” Dan dalam catatan hariannya Soe menulis: “pagi-pagi saya ke jakop untuk menyerahkan
karangan saya. Ia bicara tentang The Philosophy of Moderation. Ia yakin bahwa
semua relative…. Jakob juga bercerita soal sumantri yang minta agar Soe
dikendalikan sedikit. Ia punya potensi, radikat tapi saying sekali kalau ia
sampai terisolasi. Menurut Jakop kalau saya sampai terisolasi, saya akan
berdiam diri atau kecewa dan akhirnya ke luar negri.”
Aktifitas organisasi Gie dilalui dengan mendirikan organisasi Mahasiswa
Pencinta Alam UI (Mapala), organisasi ini dibangun berdasarkan aspirasi akan
kehidupan yang sederhana, berani, bersahabat, dan mencintai alam. Gie dengan
Mapalanya untuk mengasingkan diri dipuncak-puncak gunung sambil berfikir
tentang semakin hancurnya perkembangan politiknya di tanah air. Sampai akhirnya
dengan Mapalanya juga Soe mencapai ajalnya di puncak tertinggi di tanah jawa itu.
Kehadiran buku SOE HOK-GIE kumpulan kesaksian teman, sahabat, simpatisan
dari Gie dan juga beberapa tulisan yang termuat dimedia massa, merupakan bukti buku,
pesta, dan cinta dialam bangsanya yang merupakan motto dari UI benar-benar
tergambar jelas dalam buku ini. Dalam situaasi politik negri kita di penghujung
tahun 2009 dan awal tahun 2010 terasa bergemuruh, dimulai dengan aksi terorisme
yang mengebom dua hotel berbintang, hingga akhirnya mereka berhasil di buru
Densus 88 dan “terbunuh ” satu per satu sampai puncak pimpinannya.
Pemilu 2009 digelar dan SBY-Budiono terpilih menjadi pemenang, disusul
rebut-ribut jatah kursi cabinet SBY jiled-2, upacara fit and proper test pun
bagai sinetron komedi tak lucu yang
tidak mengundang rasa ingin tahu. Sebab sudah bisa ditebak sebelumnya bahwa
semuannya ada kepentingan “politik”.Gunjingan tentang KPK, Komisi Pemberantas
Korupsi dan perkara lainya yang ramai, rakyat hanya dibikin heran menonton
“Infotainmen persetruan” Antara
KPK-Kepolisian-Kejaksaan yang hamper ditayangkan di media. Nampaknya persetruan
“cicak” dan ”buaya” semakin seru saja hingga Presiden mengeluarkan
kebijakannya. Selain itu munculnya kasus Prita, pencuri dua buah kakau,
semangka masuk bui, dan semakin tidak rasionalnya kasus bank Century, bencana
alam terjadi beruntun, dan negri tetangga sibuk mengutil seni-budaya kita.
Bila Gie masih hidup apa reaksinya? Apa pula tindakanya? Tetapi bukan
menginginkan Gie hidup didunia lagi melainkan melalui buku ini bangsa
mengharapkan kehadiran Gie-Gie baru yang akan bersuara lantang membela
kebenaran. Jadi buku ini wajib dibaca pelajar, mahasiswa atau siapa pun yang
ingin bangsa ini menjadi baik.
*Pengkaji dan peneliti pada Forum
Studi Islam FORSIFA Universitas Muhammadiyah Malang
Label:
HUMANIORA,
PEMIKIRAN KRITIS,
SOSIAL
19:40

As a forward -minded , Syed Muhammad Naquib al Attas in the middle of busy not forget to work . al Attas including prolific figures in writing , his orientation covering various scientific disciplines , such as theology , mysticism , philosophy , Islamic education , and literature . In the period 1959-1995 alone ( as far as the researchers are able to track ) al Attas has produced as much writing 26 books and monographs , both in English and Malay language , of these works were translated into various languages , such as Arabic , Persian , Turkish , Urdu , Malay , Indonesian , French , Germany , Russia , Bosnia , Japan , India , Korea and Albania .The first work of al Attas is a book about a series ruba , Äôiyat , both of them are books that are now becoming classics Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays , published in Sociology of Advanced Research Institute Malaysia in 1963 . Some valuable books such Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays then in 1959 the government of Canada through the Canada Council Fellewship , gave him a scholarship for 3 years to al Attas , starting from the year 1960 in the Institute of Islamic Studies, McGill University , Montreal established Cantwel Wilfred Smith .Other works titled The Mysticism of Hamzah Fanshuri , published by the University of Malaya Press , Kuala Lumpur in 1970 . The Mysticism of Hamzah Fanshuri a doctoral dissertation to earn a Ph.D. , the book consists of two volumes and is one of the important academic works and comprehensively about the Sufi Hamzah Fanshuri which is the largest and most controversial in the Malay world .
Then book called A Raniri and the 17th centure Wujudiyyah of Acheh , published Monograph of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society , in Singapore , in 1966 , and the book A Raniri Wujudiyyah of 17th centure Acheh is a book about Raniri peel out . The fourth book entitled The Origin of the Malay poem , which was published by DBP in Kuala Lumpur in 1968 . This book contains a collection of poems Malay . At the same publisher al Attas also published a book titled Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay - Indonesian Archipelago , in 1986 .
Concluding his seventh book Postcript to the Origin of the Malay Sya , Äôir , published by DBP , Kuala Lumpur in 1971 . Another book entitled The Correct Date of the Terengganu Inscription , published by the Museum Department , Kuala Lumpur , 1972 . The book had been translated into Russian and French titled Malay Islamic History and Culture , published by the University Kebangsaan Malaysia , Kuala Lumpur , in 1972 . Books Islamic History and Culture Malay is also present in Indonesian version . Proceedings book for the Muslims , in the form of monographs that have not been published , this book consists of 186 pages . Based on a reliable source for Muslims Proceedings monographs were written between February to March in 1973 . Then in 2001 the book was published in Kuala Lumpur by ISTAC .
Further work entitled Comments on the re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation , published by the Department Musem , Kuala Lumpur , in 1975 . After writing a book entitled Comments on the Re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation of al Attas year later in 1976 published a book entitled Islah back the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , the publisher Force Belia Islam Malaysia ( ABIM ) , Kuala Lumpur , 1976 .
Two years later the book was also launched with the title of al Attas abundance of Religious and Moral Principle , the publisher ABIM , Kuala Lumpur . In 1977 . The Indonesian version of the book while the Malay version entitled Islah the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , as suggested earlier researchers . Ingredients in the book Religion and Moral Principles , Al - Attas said that morality is a disciplined body , soul and spirit which confirms the introduction and recognition of the proper position on the relationship with the potential physical , intellectual and ruhaniyah . Broadly speaking, the contents of this book on the concept of morality for a Muslim .
Later books on Islam and Islamic thought called Secularism , published by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1978 . Islam and Secularism book has been translated into Malay , Indian , Persian , Urdu , Indonesian , Turkish , Arabic , and Russian . The contents of the book Islam and Secularism are talking about the issue of Islam and the West , according to al- Attas western knowledge has brought confusion and skepticism . West has raised the estimate to peraguan and scientific degrees in terms of methodology . Western civilization also looked skepticism as a means of epistemological pretty good and privileged to pursue the truth . Western knowledge has also brought chaos to the three kingdoms of nature is animal , vegetable and mineral , the snippet glimpse of the book Islam and Secularism .
Then book about education entitled the Aims and objectives of Islamic Education : Islamic Education Series , published by the King Abdul Aziz University , London , in 1979 . The book was translated into Turkish , it talked about the basic structure of Islamic education , the book Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Education Series also listed in chapter four of the book Islam and Secularism . Other books on education entitled The Concept of Education in Islam , issued by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1980 . The book was translated into Indonesian , Persian , and Arabic . The contents of the book talking about the concept of Islamic education includes how education was formulated , the notion of education , educational goals , hakaikat education , curriculum and other sebagainnya . Book Aims and objectives of the Islamic Education : Islamic Education Series and The Concept of Education in Islam in this study by the researcher used as a primary source .
In addition to the books mentioned above there are ten more books produced by al- Attas , diantarannya : Islam , Secularism , and the Philosophy of the Future , Mansell , published in London , and New York , in 1985 , Commentary On the Hujjat al- Siddiq of Nur al- Din al Raniri , published on the initiative of the ministry of culture , Kuala Lumpur , in 1986 , The Oldest Known Malay Manuscript A 16th Century Malay then translated in over titled The A , Äôqoid of al Nafasi , by the Department. Publishing University Malaya , Kuala Lumpur , in 1990 , Islam and the Philosophy of Science , published by ISTAC , Kuala Lumpur , in 1989 and translated into Indonesian , Bosnian , Persian , and Turkish , The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , the Intuition of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , on Quiddityand Essence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , The Meaning and Experience of happiness in Islam , ISTAC , Kuala Lumpur , 1993 , The Degrees of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1994 . And the last book entitled Prolegomena to the resulting Metaphysicsof Islam : an Exposition of the Fundamental Elements of the Word View of Islam , with the publisher ISTAC , Kuala Lumpur , in 1995 .
please email for further work to arief_giea503@yahoo.com ....
* by Arif sugianto
Books by Syed Muhammad Naquib al Attas*

As a forward -minded , Syed Muhammad Naquib al Attas in the middle of busy not forget to work . al Attas including prolific figures in writing , his orientation covering various scientific disciplines , such as theology , mysticism , philosophy , Islamic education , and literature . In the period 1959-1995 alone ( as far as the researchers are able to track ) al Attas has produced as much writing 26 books and monographs , both in English and Malay language , of these works were translated into various languages , such as Arabic , Persian , Turkish , Urdu , Malay , Indonesian , French , Germany , Russia , Bosnia , Japan , India , Korea and Albania .The first work of al Attas is a book about a series ruba , Äôiyat , both of them are books that are now becoming classics Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays , published in Sociology of Advanced Research Institute Malaysia in 1963 . Some valuable books such Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays then in 1959 the government of Canada through the Canada Council Fellewship , gave him a scholarship for 3 years to al Attas , starting from the year 1960 in the Institute of Islamic Studies, McGill University , Montreal established Cantwel Wilfred Smith .Other works titled The Mysticism of Hamzah Fanshuri , published by the University of Malaya Press , Kuala Lumpur in 1970 . The Mysticism of Hamzah Fanshuri a doctoral dissertation to earn a Ph.D. , the book consists of two volumes and is one of the important academic works and comprehensively about the Sufi Hamzah Fanshuri which is the largest and most controversial in the Malay world .
Then book called A Raniri and the 17th centure Wujudiyyah of Acheh , published Monograph of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society , in Singapore , in 1966 , and the book A Raniri Wujudiyyah of 17th centure Acheh is a book about Raniri peel out . The fourth book entitled The Origin of the Malay poem , which was published by DBP in Kuala Lumpur in 1968 . This book contains a collection of poems Malay . At the same publisher al Attas also published a book titled Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay - Indonesian Archipelago , in 1986 .
Concluding his seventh book Postcript to the Origin of the Malay Sya , Äôir , published by DBP , Kuala Lumpur in 1971 . Another book entitled The Correct Date of the Terengganu Inscription , published by the Museum Department , Kuala Lumpur , 1972 . The book had been translated into Russian and French titled Malay Islamic History and Culture , published by the University Kebangsaan Malaysia , Kuala Lumpur , in 1972 . Books Islamic History and Culture Malay is also present in Indonesian version . Proceedings book for the Muslims , in the form of monographs that have not been published , this book consists of 186 pages . Based on a reliable source for Muslims Proceedings monographs were written between February to March in 1973 . Then in 2001 the book was published in Kuala Lumpur by ISTAC .
Further work entitled Comments on the re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation , published by the Department Musem , Kuala Lumpur , in 1975 . After writing a book entitled Comments on the Re examination of al Raniri , Aos Hujjatun al Siddiq : A Refutation of al Attas year later in 1976 published a book entitled Islah back the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , the publisher Force Belia Islam Malaysia ( ABIM ) , Kuala Lumpur , 1976 .
Two years later the book was also launched with the title of al Attas abundance of Religious and Moral Principle , the publisher ABIM , Kuala Lumpur . In 1977 . The Indonesian version of the book while the Malay version entitled Islah the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality , as suggested earlier researchers . Ingredients in the book Religion and Moral Principles , Al - Attas said that morality is a disciplined body , soul and spirit which confirms the introduction and recognition of the proper position on the relationship with the potential physical , intellectual and ruhaniyah . Broadly speaking, the contents of this book on the concept of morality for a Muslim .
Later books on Islam and Islamic thought called Secularism , published by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1978 . Islam and Secularism book has been translated into Malay , Indian , Persian , Urdu , Indonesian , Turkish , Arabic , and Russian . The contents of the book Islam and Secularism are talking about the issue of Islam and the West , according to al- Attas western knowledge has brought confusion and skepticism . West has raised the estimate to peraguan and scientific degrees in terms of methodology . Western civilization also looked skepticism as a means of epistemological pretty good and privileged to pursue the truth . Western knowledge has also brought chaos to the three kingdoms of nature is animal , vegetable and mineral , the snippet glimpse of the book Islam and Secularism .
Then book about education entitled the Aims and objectives of Islamic Education : Islamic Education Series , published by the King Abdul Aziz University , London , in 1979 . The book was translated into Turkish , it talked about the basic structure of Islamic education , the book Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Education Series also listed in chapter four of the book Islam and Secularism . Other books on education entitled The Concept of Education in Islam , issued by the ABIM , Kuala Lumpur , in 1980 . The book was translated into Indonesian , Persian , and Arabic . The contents of the book talking about the concept of Islamic education includes how education was formulated , the notion of education , educational goals , hakaikat education , curriculum and other sebagainnya . Book Aims and objectives of the Islamic Education : Islamic Education Series and The Concept of Education in Islam in this study by the researcher used as a primary source .
In addition to the books mentioned above there are ten more books produced by al- Attas , diantarannya : Islam , Secularism , and the Philosophy of the Future , Mansell , published in London , and New York , in 1985 , Commentary On the Hujjat al- Siddiq of Nur al- Din al Raniri , published on the initiative of the ministry of culture , Kuala Lumpur , in 1986 , The Oldest Known Malay Manuscript A 16th Century Malay then translated in over titled The A , Äôqoid of al Nafasi , by the Department. Publishing University Malaya , Kuala Lumpur , in 1990 , Islam and the Philosophy of Science , published by ISTAC , Kuala Lumpur , in 1989 and translated into Indonesian , Bosnian , Persian , and Turkish , The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , the Intuition of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , on Quiddityand Essence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1990 , The Meaning and Experience of happiness in Islam , ISTAC , Kuala Lumpur , 1993 , The Degrees of Existence , ISTAC , Kuala Lumpur , 1994 . And the last book entitled Prolegomena to the resulting Metaphysicsof Islam : an Exposition of the Fundamental Elements of the Word View of Islam , with the publisher ISTAC , Kuala Lumpur , in 1995 .
please email for further work to arief_giea503@yahoo.com ....
* by Arif sugianto
Label:
HUMANIORA,
Humor,
PEMIKIRAN KRITIS