Powered by Blogger.
Latest Post

SISTEM PENDIDIKAN DI JERMAN

PENDIDIKAN DI JERMAN
Membangun Rasa Kebangsaan
oleh arif sugianto

            Jika membincang seputar pendidikan khususnya di Jerman, yang terlintas dalam benak pembaca adalah sekolah-sekolah yang sangat teratur dengan dispilin yang sangat ketat dengan setiap akitivitas pendidikan yang diatur hingga hal yang paling kecil sedikitpun. Sehingga berita yang beredar di luar negri adalah suatu sistem pendidikan yang diatur sedemikian hingga yang disesuaikan dengan upaya nasional secara menyeluruh untuk mencapai supremasi militer. Sedangkan di dalam negri, atau di Jerman sendiri, sekolah menadapatkan kepercayaan untuk mengangkat status Negara dari kekalahan menuju kekaisaran yang besar hanya dalam kurun waktu dua generasi. Hal ini menjadikan guru di Jerman adalah seorang pahlawan yang mengukir sejarah 

            Dalam buku ini dijelaskan, yang mengukir kesan kuat luar negri atas Jerman bukanlah pola pendidikan yang ada  bukanlah pola pendidikan Jerman, namun adalah pola pendidikan di Prusia yang merupakan suatu Negara bagian Jerman yang tetap merdeka hingga hampir sepanjang abad lalu. 

            Pada saat kekaisaran Roma tidak kunjung berhasil untuk mendapatkan control politik atas sebagian bangsa Jerman, di saat bangsa Franka dan kepala dinasti Merovingian berhasil memperluas daerah kekuasaannnya hingga Elba dan sebagian besar wilayah yang kini menjadi wilayah Prancis, Low Country dan Jerman Barat. Di sisi lain Gereja Roma menegrahkan segala daya dan upayanya untuk mendirikan sekolah di pusat-pusat populasi utama Jerman dengan mengelola sekolah biara. Tidak terlepas dari kepentingan pendidikan gereja itu sendiri maka pendidikan yang dibangunnya hanya meliputi pendidikan pendeta dan pendidikan rakyat bisa tidak di cakup.

            Karena melihat realita pendidikan di Jerman pada masa itu hanya sekedar untuk kalangan gereja, maka untuk menghilangkan paham sekuler dan non religius serta pentingnya pengetahuan akan membaca dan menulis seperti yang dirasakan oleh bangsa daerah pesisir di Jerman, maka mereka menginginkan adanya pendampingan guru unruuk mengarahkan mereka dalam melatih kemampuan membaca dan menulis. Berangkat dari minat masyarakat inilah akhirnya bermunculan sekolah daerah yang mengajarkan mereka membaca, menulis, membuat laporan keuangan, dan saat perdagangan berkembang, dan belajar bahasa dari bahasa bangsa lain. Mulai saat itu perkembangan sekolah dan perguruan tinggi meningkat pesat yang didalangi oleh pemerintah kota praja setempat. Beriringan dengan itu maka sekolah-seolah latin kotapraja mulai bermunculan yang mendukung pada bidang study Yunani dan Latin Klasik sehingga memunculkan jenis khas sekolah yang dikenal sebagai Gymnasium yang nantinya jenis sekolah ini akan menjadi standar ukuran sekolah menengah di Jerman samapai sekarang.

            Pada awal abad ke 15 hingga abad ke 19 pertikaian antara beberapa Negara berlangsung sengit di Jerman hingga pada akhirnya tahun 1555 mereka sepakat untuk mengakhiri konflik keagamaan itu dengan mengizinkan masing-masing pemimpin negara untuk memilih agama yang dipercayainya yang kemudian ditegakkan di negaranya, dan mewajibkan seluruh warga negara untuk mengikutinya. Kesepakatan ini dikenal dengan perjanjian Augsburg (Peace of Augsburg). Sementara itu negara Protestan mengambil alih tanah dan properti lain milik Gereja Katolik Roma, termasuk sekolah-sekolah. Banyak sekolah-sekolah yang akan dirubah untuk tujuan Protestan. Khususnya pelatihan pendeta, guru dan pemimpin lainnya. Seiring dengan berkembangnya antusiasme terhadap agama baru maka bermunculanlah sekolah-sekolah baru. 

            Akibat perjanjian inilah yang akhirnya membuat Prusia untuk menganut paham Lutheranisme. Dan follow up dari perjanjian ini muncullah sekolah-sekolah yang menerapkan atau mengajarkan bahasa daerah (Vernacular School) di bawah naungan gereja serta berdirinya gereja-gereja baru pun dipelopori oleh perjanjian ini. Yang kemudian bagi anak yang berusia 6 hingga 12 tahun diwajibkan untuk belajar dan bergabung disekolah ini. Selain Prusia, Bavaria pun mendirikan sekolah untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat serta kebutuhan religiusnya. Kewajiban untuk sekolah pada anak usia 6 hingga 12 tahun ini memiliki pengecualian bagi anak-anak bangsawan atau orang kaya yang mendapatkan pendidikan dengan cara lain seperti mendatangkan guru di rumah-rumah mereka hingga mereka siap untuk memasuki Gymnasium (sekolah menengah atas). Berjalannya waktu mengalami beberapa masalah salah satunya adalah pada aktivitas beberapa gereja yang tak begitu giat untuk melakukan kontroling terhadap sekolah-sekolah yang berada di bawah gereja. Sehingga pemerintah melakukan kebijakan untuk membentuk semacam cabang khusus dari pemerintah sipil untuk menangani dan mengawasi beberapa lembaga pendidikan agar tidak terjadi stagnasi dalam perkembangan pendidikan yang disebut dengan Oberschulkolllegium atau komisi tinggi untuk sekolah. Walaupun menjadi bawahan dari pihak sipil yang dibentuk oleh pemerintah namun sekolah menengah dan perguruan tinggi ini memiliki hubungan yang erat terhadap gereja dan diwajibkan memberikan pendidikan agama di dalamnya.

            Perjalanan roda pendidikan yang berjalan di Jerman khususnya negara bagian Prusia ini tidak laepas dari pengaruh politik pada saat itu, dimana Napoleon melenyapkan sebagaian daerah Prusia, memberatiya dengan hutang besar, membatasi pasukan hingga 42.000 rang, dan menempatkan pasukan Prancis di tempatnya, oleh kaarena itu kesempatan untuk membangun negara benar-benar tertutup. Namun, pendidikan yang disediakan oleh Gymnasiendan universitas yang berkembang lewat persaingan kota praja dan negara mulai menampakkan hasilnya. Hal ini dibuktikan denan lahirnya para cendekiawan dan para penulis, diantaranya Kleist dan Fichte, dengan memulai persenjataan diri spiritual kembali. 

            Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang turut berperan dalam kemajuan pendidkan di Jerman khususnya negara bagian Prusia. Peran sosial, walaupun tanpa pembiayaan resmi dari pnegara, namun pemerintah tetap menginstruksikan terhadap gereja-gereja yang ada untuk menggiatkan proses belajar mengajarnya, sehingga inovasi-inovasi dalam pendidkan terus bermunculan, salah satunya adalah yang diprakarsai oleh Francke, Basedow, dan Salzman yang memperlihatkan bahwasannya pentingnya pendidikan dalam meningkatkan derajat sosial dan moral bangsa. Pembaharuan itu juga meliputi tentang metode dan kurikulum pendidikan. Namun terdapat suatu pembaharuan khusus yang sangat menarik yakni pendidikan yang dikembangkan oleh Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, walaupun sangat religius, Pestalozzi percaya bahwa prinsip panduan yang penting untuk mengembangkan karakter yang kuat dan tujuan hidup yang layak dapat diajarkan paling baik apabila mberkembang secara induktif dari pengalaman indrawi siswa sendiri. Oleh karen itu dia berkonsentrasi pada penentuan pengalaman indrawi manakah yang paling baik memenuhi tujuannya ini serta urutan cara penyamapaiannya. Kurikulum dan meodologi yang dihasilkannya sangat mengesankan terutama para pejabat Prusia dan mereka memutuskan untuk memasukkannya pada sekolah negeri. Dan perlu diperhatikan bahwasannya sistem persekolahan di Prusia bukan merupakan hasil tuntutan rakyat, melainkan dibentuk dan diadakan menurut titah raja. 

            Di sisi lain struktur kekuasaan dan organisasi administratif juga memberikan andilnya dalam pembangunan jerman dan pengembangan sistem pendidikan. Pada penghujung abad 18 raja semakin tertaarik oleh perkembangan sekolah yang dikelola oleh pihak gereja walaupun mereka tidak mendapatkan bantuan dana dari kas pemerintah. Hal ini menyebabkan semakin berkembangnya sekolah yang ditangani langsung oleh pihak pemeritah seperti sekolah menengah dan universitas. Sekolah menengah ini memberikan kesempatan pada rakyat untuk menjadi pemimpin dalam mengembangkan pendidikan, teknik dan ilmu pengetahuan. Namun lembaga atau badan pengurus sekolah yang pernah dibentuk oleh pemerintah menjadi tidak efektif. Oleh karenanya pemerintah menjadikan hokum perdata untuk mengatasi itu semua sebagai wewenangnya, raja memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk membiayai sekolah mereka dengan membayar pajak, sekolah diwajibkan memberikan gaji yang layak bagi guru, di sisi lainm raja sendiri tidak memberikan bantuan dana dalam hal ini. Ulama geereja dalam hal ini menjadi penilik sekolah.

            Pada pergantian abad, sebuah komisi kerajaan dibentuk untuk melaporkan perkembangan sekolah, dan alhasil mutu dari sekolah-sekolah yang tersedia memiliki mutu yang sangat rendah dan jauh dari apa yang diharapkan. Maka strategi yang diambil adalah guru diharuskan untuk mengerjakan suatu keterampilan agar memperoleh biaya hidup. Oleh sebab itu para guru sering menggunakan toko atau tempat kerja untuk melakukan kegiatan belajar mengajar sembari mangwasi murid-muridnya dengan bekerja. Selain itu Oberschulkollegium (badan pengurus sekolah) yang dirasa kurang efektif diganti dengan instansi nasional atau kementrian pendidikan. Awalnya instansi ini beroperasi sebagi biro pada Kementrian Dalam Negri namun pada 1817 kepentingannya dalam upaya nasional menjadi sedemikian nyata sehingga dijadikan departemen di bawah Kementrian Agama, Pendidikan dan Kessehatan Masyarakat. Divisi-Divisi terpisah didirikan untuk mengurus pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sedangkan universitas merupakan lembaga pendidikan yang tidak berdiri sendiri atau bisa dikatakan tidak mandiri karena universitas mendapatkan subsidi dari kas kerajaan dan berada di bawah perlindungan raja. Namun kini universitas tanggungjawabnya langsung dialihkan pada Kementrian pendidikan. Sedangkan pendidikan dasar dan menengah di bawah pengawasan Kementrian Dalam Negri tingkat provinsi. Sekolah dasar dan menengah sangatbermacam-macam karena gereja, kotapraja, serikat pekerja, asosiasi dagang dan bahkan perseorangan diberikan hak untuk mendirikan sekolah yang diinginkan. Sehingga dibentuklah sebuah komite pendidikan untuk memusatkan kegiatan belajar mengajar pada jenjang sekolah dasar dan menengah (Schulkollegnen). Dari komite ini muncul dua prosedur , pertama, mempersyaratkan guru mendapatkan ijazah dari Schulkollegnen dengan menetapkan program studi yang harus dipelajari oleh calon-calon guru di universitas serta mempersiapkan dan melaksanakan ujian ijazah. Kedua mempersyaratkan ujian seragam untuk mengatur mengatur penerimaan ke universitas dan dilaksanakan pada tingkat provinsi. Schulkollegnen juga berperan untuk melakukan pelatihan atas guru sekolah dasar, tetapi pemerintah pusat berperan aktif dan mengamban suatu tanggungjawab keuangan termasuk biaya untuk mengatur seminar guru. Selain itu sekolah dasar langsung berada di bawah distrik administratif (Regierungsbezirk). Unit ini juga dikepalai oleh seorang pemimpin dan dewan yang diangkat oleh Mentri Dalam Negri. Urusan pendidikan didelegasikan pada seorang anggota dewan yang disebut dengan Schulrat atau penasehat sekolah. Walaupun Schulrat yang mengarahkan implementasi program resmi pendidikan dasar dalam distriknya, pendirian dan penyelenggaraan sekolah yang sebenarnya masih menjadi tanggungjawab unit administratif bawah, masing-masing adalah Kreise dan Gemeinden. Gemeinden adalah distrik sekolah setempat, biasanya meliputi penduduk sebuah desa kecil. Sedangkan Kreise adalah terdiri dari beberapa Gemeinden dan dapat disamakan dengan sebuah wilayah yang dipimpin oleh seseorang pengawas dalam hirarki gereja. 

            Fungsi pendidikan utama mula-muala terbentuk pada tingkatan Kreise atau lingkungan yaitu menilik sekolah dasr, sebuah kewajiban yang dilaksanakan oleh Kreischulinspector. Kreischulinspector merupakan anggota ulama gereja. Rekomendasi untuk jabatan inspektur sekolah di tingkat propinsi dilakukan oleh otoritas gereja, tetapi pengangkatannya dilakukan oleh Mentri Pendidikan. Penataan administrasi ini jelas memperlihatkan niat pemerintah untuk mengganti kontrol gereja tradisional dengan kontrol sipil. Penolakan public dihindari atau ditampik dengan tetap adanya sekolah paroki dan sekolah kotapraja yang tetap memanfaatkan jasa layanan ulama gereja setempat untuk menjadi inspektur sekolah. Pada awalnya, aktivitas pemerintah dalam meningkatkan jumlah dan mutu sekolah dibatasi, namun setelah disetujui sebagain otoritas tertinggi dalam urusan pendidikan, pemerintah secara bertahap mengarahnkan kembali sekolah untuk memenuhi tujuan nasional daripada tujuan religius. Satu-satunya alat yang paling efektif untuk mencapai transformasi ini adalah asumsi otoritas penuh atas pelatihan, pengangkatan, penggajian, dan promosi guru. Guru sekolah menengah setidaknya mereka yang diangkat untuk Gymnasien dan dididik di universitas yang dikontrol negara, sedangkan guru sekolah dasar dieminari oleh guru yang dikelola negara. Saat pemerintah menjadi reaksioner dan otokratik, kurikulum dan pengelolaan seminar guru dikontrol sedetil-detilnya sehingga guru sekolah dasar tak hanya menjadi injstrumen untuk mengatur hidup anak secara ketat, tetapi juga menjadi alat propaganda efektiif diantara para orang tua. Sebagai lembaga negara, Gymnasien dan universitas dikontrol secara ketat oleh pemerintah.

            Terdapat institusi pendidikan berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan sebagai realisasi dari konsep pendidikan yang dikembangkan di Jerman. Dalam perkembangan pendidikan yang terjadi diidentifikasi oleh Fancke membutuhkan beberapa lembaga pendidikan untuk menghasilkan sejumlah sekolah baru, mulai dari sekolah amal untuk anak-anak orang miskin hingga sekolah berasrama untuk anak orang kaya, dari kelas pendidikan paling dasar hingga pendidikan guru untuk mahasiswa universitas di sekitarnya. Maka dari itu terdapat beberapa lembaga yang telah berhasil didirikan, diantaranya adalah: Sekolah dasar, kaum royalis yang bangkit kembalikini bergerak lebih cepat untuk mengembangkan sebuh sistem sekolah yang memisahkan anak-anak miskin dengan anak-anak kelas atas sepanjang masa pendidikan. Utuk mengembangkan ini pemerintah ntertarik dengan pendidikan ala Pestalozzi yang digunakan untuk mengajar anak-anak miskin di Yerdun. Oleh karena itu pada tahun 1809 pemerintah mengirimkan beberapa pemuda untuk belajar padanya dan sekembalinya mereka, tugasnya adalah untuk menseminari para guru yang telah berdiri diatas pendidikan suasta. Yang kemudian hasil dari seminar itu merupakan guru institusi negri yang di bawah kontrol kementrian. Kurikulum dan program pelatihan dibakukan, langkah-langkah baru diambil untuk memastikan bahwa institusi itu akan menghasilkan korps guru baru yang terlatih secara seragam menurut metodologi sistematis yang diadopsi dari Pestalozzi. Semua guru ini selanjutnya diwajibkan memiliki ijazah dan diperkenalkan sebuah ujian kualifikasi negara guna mengevaluasi kecakapan akademik dan kecakapan dan kecakapan paedagogis dan kurikulumnya mencakup pendidikan umum dan studi paedagogis. Harapannya guru tak hanya bertindak sebagai npengawas bagi anak namun juga sebagai pengaruh penatar (Up-Grading influences) dalam komunitas dan lembaga pendidikannya dinamakan dengan Volkschulen. Sekolah menengah, sebelum tahun 1800, para keluarga kelas atas telah menyediakan sekolah privat bagi anak-anak mereka. Pengenalan tentang Volkschulen tidak dapat merubah penataan ini. Di sisi lain pendidikan menengah juga mencul pada kalangan kotapraja. Beberapa diantaranya menawarkan sekolah berbahasa daerah untuk kategori pelajaran yang termasuk real. Yang lain menawarkan bahasa yunani dan Latin yang mempersiapkan pada penerimaan universitas. Dan beberapa sekolah yang lebih baik menawarkan kedua metode tersebut, tewrmasuk bahasa asing modern, bahkan ada yang meiliki program lanjutan yang menyamai fakultas di universitas. Sekolah Teknik dan Kejuruan, minat pada pendidikan teknik dan kejuruan mulai tampak pada 1800. pada sekoah ini melatih anak laki-laki untuk terjun dalam sebuah perniagaan atau industri. Jenis pendidikan ini yang lebih teoritis terletak pada sekolah teknik yang memmberikan persiapan pada satu bidang seperti pertanian, arsitektur, kehutanan, pertambangan atau dinas pos.

            Setelah membahas panjang lebar tentang perkembangan pendidikan di Jerman khususnya di Prusia, saat ini kita akan menguraikan perkembangan selanjutnya. Seperti apa yang terjadi dalam perkembangan pendidikan selanjutnya. Dalam membincangkan perkembangan pendidikan di Jerman ini ada beberapa periode yang berpengaruh di dalamnya. Diantaranya adalah, Republik Weimar, kekalahan jerman dan sekutunya dalam Perang Dunia I memaksa runtuhnya pemerintah monarki, pengusiran keluarga kerajaan dan berakhirnya dominasi kaum Junker (golongan tuan tanah) kaitannya dengan urusan dalam negri. Konstitusi Weimar yang disahkan pada 1918, mendirikan sebuah federasi negara bagian nberbentuk republik. Dan dalam hal ini pendidikan dijadikan sebagai kegiatan kerjasama antara pemerintah federal, negara bagian, dan kotapraja berbagi tanggung jawab dan kekuasaan. Di dorong oleh pihak barat, kekuatan politik liberal mendukung pembaharuan pendidikan yang lebih luas. Sistem ganda sekolah dasar dilarang. Sekolah swasta yang selektif dihpus, dan diperkenalkan pendidikan dasr empat tahun di Grundschulen untuk semua anak. Selain itu regulasi yang berhubungan dengan hati nurani dan menjadika pendidikan agama sebagai mata pelajaran pilihan baik bagi guru maupun murid. Periode Nazi, dibandingkan dengan situasi kekaisaran, pendidikan di bawah pemerintahan Republik Weimar tampak liberal, tetapi tidak sepenuhnya popular dikalangan masyarakat. Pada 1933 Nazi mengambil alih kontrol atas Jerman dan menyapu bersih semua prestasi yang dicapai Republik Weimar. Di bawah kendali Nazi, bentuk pemerintahan terpusat pertama kali diperkenalkan dan satu-satunya dalam sejarah Jerman. Pendidikan dijadikan tujuan nasional dan diperkenalkan sebuah sistem sekolah terpadu yang di mulai dari taman kanak-kanak sampai unversitas. Sekolah menengah dipilih sebagai sekolah pelatihan untuk para pemimpin orde baru ini dan kurikulum dirombak sepenuhnya untuk memenuhi tujuan itu. prigram pendidikan Nazi menekankan doktrin ras, supremasi Jerman dan keharusan untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan yang dilakukan untuk menentang rakyat Jerman. Selain itu bahasa Latin dan Yunani dibatasi , bahasa Inggris dijadikan bahasa asing utama. Masa bersekolah dikurangi agar tersedia waktu untuk aktivitas partai nazi yang bermacam-macam. Sedangkan program pendidikan jasmani yang ada jelas-jelas mengarah pada persiapan wajib militer. Singkatnya pendidikan menjadi instrument utama untuk mengubah Jerman menjadi mesin perang. Balatentaranya mulai nampak pada enam tahun kemudian. Setelah Perang Dunia II,setelah 1945 Jerman kembali mengalami kekalahan tau kelemahan militer, perekonomiannya lumpuh dan secara politik dikuasai oleh luar negri. Dalam periode ini banyak sekali usaha yang digunakan untuk menghapuskan sisa dari periode Nazi. Sebuah periode rekonstruksi yang panjang diproyeksikan agar tedensi demokratis yang sudah tampak pada zaman Rebuplik Weimar dapat dipupuk ndan dikembangkan menjadi kekuatan politik yang kompeten dan berhasil. Sejak awal negara-negara yang berkuasa atas Jerman itu berusaha untuk membersihkan berbagai jabatan public kedudukan berpengaruh yang terbukti Nazi. Guru-guru dicurigai secara khusus karena lamanya Nazi memegang kontrol atas sekolah dan perekrutan guru yang dapat dipercaya menjadi tugas utama. Buku-buku sekolah harus ditulis ulang dan diperkenalkan urusan program studi baru. Selain itu banyaknya gedung sekolah yang rusak menyebabkan masalah tempat dan anak-anak nyaris mendekati kelaparan memerlukan program pemberian makanan secara besaar-besaran yangv hanya dapat dilakukan oleh negara-negara yang mendudki Jerman saat itu. yang akhirnya menyebabkan Jerman terbagi menjadi dua bagian yakni Jerman Barat dan Jerman Timur sesuai dengan pendudukan masing-masing negara yang berkuasa di sana. Sedangkan masalah pendidikan di Jerman Barat lebih mengacu pada pendidikan terpadu, hal ini dibuktikan denga menculnya kembali Grundschulen empat tahun wajib sekolah yang diikuti oleh semua anak. Dan banyaknya inovasi yang dilakukan akhirnya empat tahun menjadi enam tahun wajib belajar.


Pendidikan dan politik

Pendidikan dan politik

A.  Pendahuluan
Manusia komersial, hedonis, dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan dalam kondisi tertentu merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara nasional ini.

Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi benar-benar gila. gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. 

Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah meraih kejayaan itu.

Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.

B.     Hubungan Antara Politik dan Pendidikan

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisahkan, yang satu sama lain tidak tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu  negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat dinegara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.

Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan dan politik terkait tanpa bias dipisahkan). Menurut mereka (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of the intelligensia).
Menurut Sirozi (2005:1) seorang doktor alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.

Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya. 

Selain itu, dalam sistem politik Islam, pendidikan merupakan satu hal yang sanagat urgen dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Adapun tujuan pemerintahan Islam menurut Abdul Gaffar Aziz (1993:95) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Dan syari’at tidak dapat berjalan bila ummat tidak memahami agama Islam. Sedangkan untuk memahamkan syari’at Islam kepada masyarakat sarananya tiada lain adalah melalui pendidikan.

Meskipun hubungan atau ketrekaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilaukan untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik penguasa.

Namun, apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses tranmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta prkembangan ketrampilan dan pelatihan untuk tenga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karen keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.

Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana public, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Dari beberapa pemikiran yang berkembang,  salah satunya adalah Muchtar Buchori dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, Adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya ksadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan (Civic Education). Ungkapan tersebut khususnya menggambarkan suatu keyakianan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik.

C.    Fungsi Politik Institusi Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga dan proses pendidikan menjalanakan sejumlah fingsi politik yan signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka.

Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan dbahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangt menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (Curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brain washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktin komunisme.

Di Indonesia, hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto, beberapa kebijakan yang dikeluarkan juga untuk menunjang daya tahan rezim tersebut. Terbukti rezim tersebut bisa bertahan selama 32 tahun, hal tersebut pun juga tidak jauh dari kebijakan pendidikan yang selalu berpihak pada Soeharto.

Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan national dari paraigma sentralisasi ke desentralisasi.

Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungdi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika social politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecendeungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, kaena para pengelola sekolah pada dasarnya juuga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.


D.    Kontrol Negara Terhadap Pendidikan

Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatka output yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah sarua alas an mengapa suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan.

Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggrakan sendiri oleh negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi. Kandungan (contet) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.

Ketika doktin-doktrin para penguasa negara bersebrangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dala masyarakat, maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesame perangkat sekolah itu sendiri maupu antara perangkat seklah dengan peserta didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peerta didik merambah ke luar lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik social politik.

Persoalan ini memunculkan pertanyaan sebagai berikut, Apakah msih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of education? Apakah control negara terhadap sekolah dapat dihilangkan? Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme control? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep kita tentang sekolah dan negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah bagaimana meformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan system pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat pencerahan masyarakat.

E.     Kajian Politik Pendidikan

Sebagai suatu kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang teklah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pedidikan.

Namun, pengalaman panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelskan berbagai persoalan kependidikan yang ada. 

Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan berkembang pesat.

F.     Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan

menurut Bray (1984, hal. 5) desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi . Adapun menurut Burnett et al (19950), desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.

Perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.

Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.

Agar desentralisasi benar-benar menjadi status de facto sistem pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi dan telah tersedianya proses social dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.

Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuwan, dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.

G.    Pendidikan Dan Kepentingan Politik; Sekolah Sebagai Alat Politk

Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. 

Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak. Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan. 

Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:  

1.      Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.

2.      Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.

Sedangkan menurut Hari Sucahyo dalam artikelnya Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin.

H.     Kesimpulan

Pendidikan dan politik merupakan elmen yang penting dalam subuah negara, hubungan antara pendidikan dan politik tak bias dipisahkan dalam arti antara pendidikan dan politik saling berkait.
Pendidikan dalam hal ini memberikan pengajaran atau mendidikkan pelaku atau tokoh politik, sedangkan polotik posisinya sebagai pembuat sector kebijakan. Dalam hal ini pendidikan dan politik seirama dalam menciptakan sebuah peradaban baru. Akan tetapi apa bila politik dipegang oleh orang-orang yang tidak berkopenten tentu akan rusak, demikian juga dengan pendidikan yang membutuhkan kebijakan demi kemajuan juga akan kena dampaknya.






 Daftar Pustaka
Paulo Freire, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan, Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arief Furdiyartanto.  Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar.
_______Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta:LP3ES
Sirozi Muhammad, 2005, Agenda Setrategis Pendidikan Islam, Yogyakarta: AK Group
Nata, Abuddin. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
___________. 2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
___________.2003. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa.
Ramayulis. 2005. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarrya.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir , 2006Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta : Kencana.
Karim Muhammad, 2009. Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Suhartono Suparlan. 2006, Filsafat pendidikan, Yogyakarta : Ar-ruzz media.
Rahman, munawar Budhy. 2006, membaca Nurcholis Madjid,Jakarta:LSAF .
















PENDIDIKAN DAN POLITIK

Disusun Sebagai Tugas  Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan

Oleh :
Arif Sugianto
NIM. 07110014








JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010











Pidato Prof. Dr. M. Din Syamsuddin di Markas Besar PBB


Dialog Gus Dur


Pengajian Cak NUN "Sistem Politik Diubah, Indonesia MAJU Cepat"


 
Support : Creating Website | giea sugianto | Mas giea
Copyright © 2011. AKSETISME.com - All Rights Reserved
Template Created by gea creative Published by Mas giea
Proudly powered by 503